”Pembudidaya Siluman” Pra-Kompensasi Rumput Laut PT Taka Hydrocore Indonesia di Lermatang Bermunculan, Hambat Kinerja Perusahan

Saumlaki, indonesiatimur.co
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Inilah bunyi dari pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang sering digunakan di semua aspek, termasuk salah satunya aspek Minyak dan Gas (Migas). Kadang terdapat banyak persoalan yang sering terjadi akibat minimnya pemahaman akan makna dari pasal 33 dimaksud. Dari situlah butuh keseriusan berbagai pihak untuk saling memahami dan mengimplementasikan isi pasal 33 ayat 3 dimaksud.

Sebagai masyarakat Maluku umumnya dan masyarakat yang mendiami Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT) khususnya, kehadiran Project Abadi Blok Masela adalah sebuah titipan dari para leluhur di bumi bertajuk Duan dan Lolat itu, maupun sebuah amanah, anugerah, rahmat, maupun berkah dari Tuhan Sang Maha Pencipta.

KESIAPAN PROJECT

Berbagai kesiapan dalam rangka beroperasinya Proyek Strategis Nasional (PSN) tersebut gencar dilakukan berbagai pihak seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (ESDM RI), pihak Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Kementerian terkait lainnya, termasuk Dinas, Badan, dan Instansi terkait di tingkat pusat, provinsi, maupun daerah. Hal tersebut terlihat pada berbagai kegiatan yang sering dilakukan, baik oleh SKK Migas maupun Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) seperti INPEX Ltd., hingga Sub Kontraktor lainnya di lapangan. Masyarakat sendiri juga membuat kesiapan dalam menyongsong hadirnya Mega Project dimaksud demi menunjang kebutuhan hidup anak cucu kedepannya.

TAHAPAN SURVEI G&G

Salah satu putra adat asli Tanimbar yang pernah bekerja di perusahan sejenis Blok Masela, yakni pada Tangguh LNG Teluk Bintuni – West Papua, lokasi Raksasa Migas Inggris, British Petroleum, Lorentz Weridity, kepada indonesiatimur.co, Kamis (18/04/2024) menjelaskan bahwa pentahapan yang sementara berjalan saat ini di lapangan adalah pelaksanaan Survey Geologis dan Geotechnical (G&G). Dijelaskan, survey dimaksud bertujuan untuk mengambil sampel tanah agar kemudian mengetahui daya dukung tanah terhadap berat bangunan yang akan dilakukan dalam tahapan Front End Engineering Design (FEED).

”Tahapan survey tersebut dilakukan oleh Kontraktor dari PT. Taka Hydrocore Indonesia, dimana dalam pelaksanaannya diperkirakan akan berlangsung kurang lebih selama 12 bulan, sesuai target waktu yang diberikan oleh pihak INPEX Masela Ltd.,” kata Lorentz.

Dirinya berujar, sudah tentu setiap tahapan, mekanisme, ataupun prosedur yang dilalui, siapa saja wajib hukumnya untuk menaati aturan regulasi atau undang-undang yang berlaku, termasuk melibatkan semua pihak yang memiliki andil khusus di dalamnya.

PERMINTAAN WARGA JADI HAMBATAN

Lorentz mengungkapkan, dalam melakukan Survey Geologis dan Geotechnical di wilayah Desa Lermatang, PT. Taka Hydrocore Indonesia maupun pihak INPEX Ltd., menemui berbagai persoalan yang secara nyata menghambat kinerja di lapangan. Salah satunya adalah adanya kompensasi yang akan diberikan oleh perusahaan kepada masyarakat Lermatang yang berprofesi sebagai Pembudidaya Rumput Laut, dimana nilai kompensasi tersebut akan diberikan sesuai standar perhitungan yang diberlakukan pihak Dinas Periikanan KKT, namun nilai tersebut tidak diterima dan diakui masyarakat Pembudidaya Rumput Laut.

”Pembudidaya meminta PT. Taka untuk mengikuti perhitungan versi pembudidaya yang dianggap tidak memiliki dasar untuk dipertanggungjawabkan. Dibalik itu juga, ada ’Pembudidaya Dadakan atau Siluman’ yang selama ini tidak menjalankan aktivitas budidaya namun karena mendengar adanya kompensasi yang akan diberikan maka ada warga yang menghutang tali dari pengusaha untuk ditebar di laut dengan harapan bisa mendapatkan uang kompensasi dalam jumlah besar, bahkan dalam daftar pembudidaya rumput laut yang dikantongi, masih terdapat nama pembudidaya yang sudah meninggal,” beber Lorentz panjang lebar.

Ia bahkan menyesalkan terkait adanya dugaan aksi oknum Aparat Desa Lermatang yang turut ikut terlibat dalam praktek pembudidaya siluman demi meraup nilai untung besar saat menerima kompensasi yang akan diberikan PT. Taka Hydrocore Indonesia nantinya. Tindakan ataupun keinginan masyarakat yang dilakukan tersebut secara langsung tentunya sangat mengganggu dan mempengaruhi kemajuan kinerja pihak perusahan dalam berbagai tahapannya.

KOMPENSASI DAN KEINGINAN WARGA

Dijabarkan secara rinci terkait kompensasi yang akan diberikan kepada Pembudidaya Rumput Laut ini, Lorentz katakan bahwa pihak PT. Taka Hydrocore Indonesia telah berkoordinasi dengan Dinas Perikanan setempat tentang mekanisme dan aturan Budidaya Rumput Laut. Menurut pihak dinas sebagai penyuplai bibit rumput laut ini, rata-rata panjang tali pengikat bibit (long line) adalah sepanjang 50 meter. Aturannya, jarak bibit satu dengan lainnya dalam sebidang long line harus berjarak 30 cm. Itu berarti asumsinya 1 meter dapat menampung 3 anakan bibit dan jika dikalikan dengan panjang long line 50 meter, maka total terdapat 150 bibit dalam satu long line. Jumlah tersebut juga masih harus dikurangi 2 bibit yang posisinya berada pada masing-masing ujung simpul long line sehingga hanya tersisa 148 bibit yang terikat.

”Masyarakat tidak mau tau. Mereka meminta kompensasi untuk satu long line sebesar Rp1 juta dan bahkan long line yang kosong’pun mereka hitung. Kalau satu rol tali yang dijual di toko itu harganya Rp100.000 dengan ukuran 4 mill maka pihak PT. Taka menawarkan kompensasi sesuai aturan yang ada sebesar Rp100 ribu, namun nilai itu ditolak masyarakat. Disinyalir alasannya karena ada pihak-pihak tertentu yang bukan berprofesi sebagai Pembudidaya Rumput Laut turut berperan bag siluman demi meraup untung,” paparnya.

Rencananya, nilai kompensasi yang akan diberikan dari perusahan secara khusus kepada masyarakat Pembudidaya Rumput Laut akan dibayarkan sesuai harga pasaran. Itupun berdasarkan jangka waktu pekerjaan Survey G&G serta wilayah kerja bahwa apakah meliputi wilayah pembudidaya ataukah tidak. Misalnya saja jika pekerjaan Survey G&G di wilayah pembudidaya akan dilakukan selama 5 bulan, maka pembayaran kompensasi kepada para pembudidaya terdampak juga akan dilakukan selama 5 kali panen, bahkan niat tersebut sangat rasional serta sesuai dengan aturan dari Dinas Perikanan.

HARGA RUMPUT LAUT ANJLOK

Indikator teknis lainnya terhadap besaran kompensasi yakni tentang angka ekspor komoditi rumput laut yang tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang pernah menembus angka 1.000 ton untuk sekali ekspor. Sesuai data ekspor komoditi rumput laut sendiri untuk lima tahun terakhir, bahkan angka produksi menurun drastis menjadi 300 ton per tahunnya. Itu berarti adanya penyusutan nilai ekspor sebesar 700 ton per tahun.

”Kurangnya angka penghasil rumput laut ini disebabkan adanya Badai Elnino sehingga suhu air laut jadi meningkat dan hal ini sebabkan pertumbuhan rumput laut tidak sehat. Jika tak ada Elnino, 1 anakan bibit produktif yang sesuai perhitungan harus bisa mencapai maksimal 1 atau 2 kg. Adanya badai ini membuat sehingga produksi rumput laut tidak bisa menghasilkan jumlah tersebut per anakan atau bibit yang diikat,” urainya.

CAMPUR TANGAN APARAT DESA

Lorentz Weridity juga menyampaikan bahwa sebagai putra Tanimbar, dirinya sangat menyesal dengan adanya tindakan yang dilakukan oleh aparatur Pemerintah Desa Lermatang yang dianggap terlibat aktif di dalam proses menghalangi pembayaran kompensasi rumput laut, dimana telah disepakati bersama oleh sebagian para pembudidaya rumput laut melalui penandatanganan Berita Acara yang digelar pada Sabtu,13 April lalu.

Patut dipertanyakan bahwa kenapa ada pembudidaya rumput laut yang sudah bersedia menerima kompensasi sesuai mekanisme perhitungan yang disampaikan (berat/kg termasuk pergantian harga tali) tapi kenapa pihak Pemerintah Desa justru keberatan dengan sistim tersebut dengan berupaya mencoba memprofokasi pembudidaya dengan melakukan pertemuan internal untuk membatalkan kesepakatan tersebut.

”Bukankah Project Abadi Blok Masela adalah Project Pemerintah, Project Strategis Nasional, dan juga Objek Vital nasional yang harus didukung.
Atas persoalan ini mohon perhatian dari semua pihak, termasuk semua elemen masyarakat untuk mengawal Project Abadi Blok Masela agar berjalan lancar di lapangan,” pintanya.

PERMINTAAN DIIKUTI ANCAMAN

Lorentz juga menyampaikan bahwa pekerjaan Survey G&G bukan hanya mendapat gangguan dari persoalan kompensasi rumput laut semata, namun juga mendapat gangguan dari para oknum-oknum Aparatur Desa Lermatang yang diduga memiliki kepentingan bisnis pribadi dengan tindakan menitipkan anaknya untuk bekerja sebagai karyawan. Bahkan aksi itu dilakukan dibarengi ancaman bahwa jika tidak direkrut, maka yang bersangkutan akan menyulitkan perusahaan.

”Perlu dipahami bahwa untuk bekerja di perusahaan yang berhubungan dengan oil dan gas, lebih diutamakan pengalaman kerja yang dibuktikan dengan sertifikasi keahlian khusus,” ingatnya.

Disamping itu juga tambah dia, ada oknum aparatur desa yang setiap hari mendatangi area pembangunan atau pekerjaan Shalter Project dengan menyampaikan bahwa telah mendapat tugas dari pemerintah desa untuk melakukan pengawasan dengan imbalan Rp250 ribu per hari, termasuk mengarahkan mobil pribadinya untuk memuat material di lokasi tanpa ada pesanan atau orderan dari pihak perusahan. Hal ini benar-benar sangat mengganggu aktifitas project di lapangan.

PEMDA SEGERA SIKAPI

Berbagai persoalan yang dialami pihak perusahan dalam mengerjakan berbagai kesiapan menjelang beroperasinya Project Strategis Nasional tersebut, dengan sendirinya benar-benar menghambat lajunya kinerja di lapangan. Untuk itu, sebagai putra asli dan anak adat Tanimbar, dirinya meminta agar Pemerintah Daerah serius untuk dapat menyikapi persoalan yang terjadi.

”Mari kita sama-sama menciptakan suhu sejuk dan habitat nyaman bagi pihak investor di daerah kita agar manfaat maupun multi player efeknya dapat kita rasakan hingga ke anak cucu kita,” ajak Lorentz. (it-03)