Nasional 

Sejumlah Krisis & Tantangan Jadi ‘Concern’ PGI – GAMKI

Ambon, indonesiatimur.co– Persatuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Gerakan Angkatan Muda Indonesia (GAMKI) telah lama bekerjasama sebagai mitra.
“Pada level nasional maupun daerah level kita berjumpa pada concern yang sama menyangkut banyak krisis dan tantangan yang dihadapi gereja gereja di Indonesia,” ungkap Sekretaris Umum PGI, Pendeta Jacklevyn Manuputty saat menyampaikan materi bertajuk “Tantangan Kontemporer Gereja-Gereja Di Indonesia” di depan peserta Kongres XII GAMKI di Christian Center Ambon, Senin (15/05/2023).

Selama lima tahun terakhir ini, katanya, PGI menggumuli 3 krisis dan 1 tantangan, masing-masing Krisis ekologi, krisis kebangsasn, krisis oikumene, dan tantangan transformasi digital.
“Menyangkut krisis ekologi kita menghadapi tantangan kiamat ekologi akibat kerusakan lingkungan karena bencana alam, maupun karena penghancuran oleh ketamakan manusia. Catatan
tingkat kerusakan lingkungan telah mencapai tahap yang cukup mengkhawatirkan. Di berbagai wilayah terjadi penebangan hutan secara illegal, penjarahan lahan ulayat, penambangan galian C, konsesi HPH, eksplorasi dan eksploitasi pertambangan, pengembangan perkebunan monokultur berskala besar, pengembangan sentra-sentra pemukiman baru, dan berbagai bentuk eksploitasi lahan lainnya telah memperhadapkan masyarakat pada situasi degradasi lingkungan yang sangat serius. Kondisi ini tidak saja diakibatkan oleh strategi pengembangan wilayah yang tak ramah lingkungan, tetapi juga oleh perilaku masyarakat yang melihat lingkungan semata-mata sebagai sumber ekonomi yang harus dikuras habis,” katanya.

Berkaitan dengan krisis kebangsaan, jelas Manuputty, ada banyak krisis yang digumuli gereja-gereja di Indonesia.
“Salah satu krisis yang sangat aktual di era tahun politik ini adalah tantangan disintegrasi sosial dan pelemahan nasionalisme akibat politisasi identitas yang berujung pada diskriminasi dan kekerasan antar kelompok masyarakat akibat perbedaan agama, etnis, dan lainnya. Politik identitas dikelola komunitas politik sebagai instrument politik untuk penggalangan kekuatan dan menjatuhkan lawan politik, sekaligus dimanfaatkanbagi pengelolaan distribusi sumber daya ekonomi.
“Politik kini tidak lagi diarahkan untuk mencapai kebaikan dan keadilan bersama, tetapi secara sangat pragmatis digunakan untuk mengembangkan kegelisahan dan ketakutan melalui fabrikasi hoaks dan pelintiran kebencian secara massif dan kontinu. Politik identitas dengan karakter demikian pada gilirannyamembonsai peran rasio dan membesarkan kecurigaan, fitnah, dan kebencian antarkelompok dalam masyarakat. Situasi ini makin memburuk ketika elemen agama dan etnis dikelola sebagai pemantik, sekaligus pelanggeng pembelahan antarfaksi dalam rajutan sosial dan kemasyarakatan,” jelasnya.

Manuputty memaparkan partai dan aktor aktor politik menggalang dukungan publik bukan berdasarkan tawaran program politik yang rasional, tetapi dengan memanfaatkan emosi identitas,
“Tak terhindarkan kemudian, narasi narasi intoleransi dan diskriminasi bertumbuh subur sebagai rintangan dalam perkembangan demokrasi Indonesia saat ini. Retakan yang terjadi pada tingkat nasional melebar pula sampai ke daerah-daerah. Bukan hanya agama dan etnis, narasi seperti putra daerah versus pendatang turut memperkaya khazanah politik identitas di tanah air. Contoh keberhasilan politik identitas di tingkat nasional telah mendorong kekuatan-kekuatan primordial di tingkat local untuk mereproduksi strategi serupa dalam pertarungan politik local. Maraknya pemekaran daerah-daerah otonomi baru menyediakan lahan yang subur bagi bertumbuhnya politik identitas yang tidak dikelola secara sehat,” paparnya.

Kondisi rentan ini, kata Manuputty, berakumulasi dan menyebabkan terjadinya konflik secara krusial dan parsial pada banyak wilayah di tanah air.
“Baik konflik vertical antara masyarakat dan pemerintah, maupun konflik horizontal antara berbagai kelompok dalam masyarakat,” katanya.

Khusus krisis oikumene, Manuputty mengaku bersyukur bahwa dinamika dan spektrum oikumene semakin luas di Indonesia.
“Anggota-anggota PGI berjumlah 96 sinode gereja yang berasal dari latar belakang denominasi yang berbeda, termasuk gereja-gereja pentakosta dan evangelical. Ini menjadi kekuatan kami, sekaligus tantangan karena keberagaman selalu menyimpan potensi konflik antara gereja dan denominasi,” ungkapnya.
Selain 3 krisis tersebut, Manuputty mengatakan, tantangan transformasi digital juga menjadi tantangan serius yang harus sungguh-sungguh disikapi.
“Transformasi digital tidak semata-mata terkait penggunan perangkat tekhnologi informasi modern, tetapi secara langsung mengubah mindset, pola ibadah, model liturgy, instrumen diakonia, juga pola kepemimpinan gereja masa depan. Satu tantangan yang dirumuskan dalam Prokelita PGI untuk 5 tahun ke depan adalah disrupsi teknologi dalam bidang tekhnologi informatika. Disrupsi yang ditandai dengan cepat dan masifnya perkembangan pembentukan komunitas cyber yang menjadi kekhasan utama ‘revolusi industry 4.0’. Sejak dimulainya Pandemi Covid-19 pada awal 2020, kita terperangah melihat adaptasi tekhnologi informasi dengan cepat mengubah dunia di sekitar kita dengan cara-cara yang menakjubkan. Ia mengubah cara kita bekerja, cara kita beribadah, cara kita melakukan pastoral-konseling, cara kita mengembangkan pelayanan bagi kelompok-kelompok kategorial di jemaat, cara kita mengelola rapat dan persidangan-persidangan gereja. Tidak diragukan lagi bahwa pandemic Covid-19 telah menarik apa yang menjadi tantangan masa depan gereja-gereja kita dan memindahkannya sebagai realita masa kini,” katanya.

Menurut Manuputty, penggunaan teknologi sebagai tantangan masa depan telah menjadi pergumulan gereja masa kini.
“Apakah ini merupakan tantangan temporer yang akan berlalu ketika pandemic selesai? Tentu tidak! Kita telah memasuki era perubahan global yang oleh banyak komunitas gerejawi di berlahan dunia lainnya telah lebih dahulu digeluti. Selain transformasi digital, kita menghadapi inovasi pengetahuan dan tekhnologi baru yang menawarkan berbagai peluang tetapi juga guncangan.

Pada sesi studi meeting tersebut, Manuputty tampil sebagai panelis bersama Pendeta Elifas Maspaitella (Ketua MPH Sinode GPM) dan Amsal Yowei (Direktur Urusan Agama Kristen Kemenag). (it-02)

Bagikan artikel ini

Related posts

Komentar anda:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.