SKK Migas Kembali Gelar Edukasi Jurnalis Media Massa Nasional
Jakarta, indonesiatimur.co – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) kembali menggelar kegiatan edukasi jurnalis media massa nasional. Kali ini tema yang diangkat adalah “Production Sharing Contract (PSC) Cost Recovery (CR), PSC Gross Split (GS), Implementasi dan Kecenderungan Model Kontrak Migas Global”. Edukasi mengenai PSC CR dan PSC GR adalah salah satu bentuk tanggung jawab SKK Migas sebagai institusi yang mewakili negara di hulu migas, agar pemahaman kalangan insan pers tentang industri hulu migas menjadi lebih utuh sehingga berita yang ditulis menjadi lebih tepat dan akurat.
Kegiatan edukasi jurnalis media nasional diselenggarakan secara online (26/08/2021) dihadiri oleh sekitar 90 jurnalis dari berbagai media nasional, baik cetak maupun elektronik serta televisi. Kegiatan ini menghadirkan narasumber Deputi Perencanaan SKK Migas Benny Lubiantara, Vice President SKK Migas A. Rinto Pudyantoro dengan moderator Andromeda Mercury jurnalis-news anchor media nasional.
Sekretaris SKK Migas Taslim Z Yunus pada sambutan pembukaan menyampaikan bahwa kegiatan edukasi jurnalis media nasional adalah kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh SKK Migas, sebagai upaya meningkatkan pemahaman tentang industri hulu migas, mengingat penyebaran informasi saat ini di era digital sangat masif. “Melalui edukasi ini, diharapkan kesalahan penulisan berita dapat diminimalisir. Selain pemahaman dan pengetahuan yang baik, kegiatan ini adalah untuk membina hubungan yang baik dan memudahkan interaksi dalam pekerjaan. Tidak bisa instan, tetapi perlu edukasi yang terus menerus untuk meningkatkan pemahaman para jurnalis”.
Lebih lanjut, Taslim menyampaikan kegiatan edukasi media dalam rangka membangun dukungan publik terhadap visi peningkatan produksi migas nasional di tahun 2030 yaitu 1 juta barel minyak dan 12 BSCFD gas. “Kami terbuka jika ada usulan dari rekan-rekan jurnalis mengenai topik-topik yang dibutuhkan. Peserta diharapkan dapat mengetahui rezim fiskal di Indonesia dan global, serta implementasi CR dan GR, serta peran dan tantangan dalam pengawasan dua skema tersebut”.
“Cycle process dalam industri hulu migas sangat panjang dimulai dari penandatangan kontrak/lisensi, aktivitas G&G, pengeboran eksplorasi, penemuan, penilaian dan pengembangan, optimalisasi lapangan, produksi tahap lanjut, sampai dengan terjadi penurunan produksi dan abandonment. Oleh karena itu dalam perspektif investor, bisnis di hulu migas akan sangat ditentukan oleh 4 hal yaitu hasil geologi/sub surface, regulasi, fiskal dan kemudahan akses ke pasar. Kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah kemudahan berbisnis”, kata Benny Lubiantara mengawali paparan dalam edukasi media tersebut.
Lebih lanjut Benny menyampaikan sistem kontrak hulu migas di dunia beragam. Untuk negara maju umumnya menggunakan sistem royalty dan tax, karena sistem perpajakan yang sudah maju. Untuk negara berkembang seperti Indonesia menggunakan PSC CR. “Indonesia adalah negara yang pertama kali memperkenalkan sistem PSC di tahun 1966 yang kemudian diduplikat oleh Malaysia, Vietnam, negara Timur Tengah serta Afrika”. PSC di Indonesia terus berkembang seiring perubahan regulasi dan perkembangan jaman sehingga PSC CR terus mengalami perubahan. Kemudian di tahun 2017, PSC bertambah dengan adanya sistem gross split”.
“Bagi investor ketika ditanyakan PSC apa yang diminati apakah CR atau GR, jawabannya adalah sistem mana yang memberikan keuntungan dalam investasinya, mana yang memberikan internal rate of return (IRR) yang paling baik. Sehingga dimata investor PSC CR atau PSC GR adalah pilihan semata, mana yang paling mendukung target investasi mereka. Negara mana yang menawarkan insentif fiskal yang menarik akan lebih diminati oleh investor”, tambah Benny.
Tantangannya, saat ini industri hulu migas secara global mengalami tekanan yang semakin kuat. Benny mengingatkan saat ini semakin terbatas alokasi investasi international Oil Company (IOC) sehubungan dengan perhatian mereka pada renewable energy. Kemudian tambahan biaya operasional untuk mengakomodasi proyek low carbon, serta target IRR yang semakin tinggi dimasa mendatang bersaing dengan renewable energy yang umumnya mendapatkan berbagai macam insentif. Aspek komersial akan menjadi hal yang paling berpengaruh dibandingkan ketersediaan potensi migas, terlebih adanya energi transisi. Maka saat ini adalah kesempatan untuk segera melakukan monetisasi atas potensi migas dengan memberikan paket insentif yang menarik bagi investor.
Pada paparannya A Rinto Pudyantoro menegaskan bahwa sistem kontrak hulu migas di Indonesia terus mengikuti dan beradaptasi terhadap jaman. Sehingga posisi PSC CR atau PSC GS saat ini adalah adalah pilihan. Dalam implementasinya masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya. “Permen ESDM No 12/2020 senafas dengan UU 22/2001 yang mengamanatkan model kerjasama dengan pola atau mekanisme boleh apa saja yang penting mengoptimalkan kepentingan negara. Jadi model apapun yang ditawarkan sudah dijaga kepentingan negara dan sudah dihitung konsekuansinya”.
Lebih lanjut Rinto menambahkan “Di sisi lain, Investor diberikan kesempatan untuk fitting dengan risiko menurut persepsi mereka, kultur perusahaan dan karakteristik perusahaan. Jadi sebagai salah satu faktor penentu untuk menarik investor, maka dalam jangka panjang akan memberikan keuntungan bagi Negara”.
“Bagi kontraktor memilih model dan pola (PSC) yang paling menguntungkan secara bisnis akan dipengaruhi oleh cara pandang dan persepsi perusahaan terhadap peluang dan risiko bisnis (teknis dan non teknis) dan ekspektasi terhadap pelaksanaan kontrak”, pungkas Rinto. (it-02)