Jadi Keynote Speaker, Widya Sampaikan 4 Hal Penting Cegah Pelanggaran HAM di Era Digital
Ambon, indonesiatimur.co – Bunda Literasi Provinsi Maluku, Widya Pratiwi Murad jadi Keynote Speaker dalam Diskusi Publik dengan Tema : “Literasi Digital bagi Kelompok Rentan di Kota Ambon”, yang diselenggarakan oleh Lembaga Bantuan Hukum dan Klinik Hukum Fakultas Hukum Universitas Pattimura, berpusat di Auditorium Fakultas Hukum, pada Jumat (14/04/2023).
Kegiatan yang dibuka oleh Dekan Fakultas Hukum Universitas Pattimura itu, dihadiri juga oleh para Wakil Dekan Fakultas Hukum, Ketua Lembaga Badan Hukum dan Klinik Hukum Fakultas Hukum Unpatti, Ketua Dharma Wanita Persatuan Provinsi Maluku, para mahasiswa, dan bertindak selaku narasumber Koordinator Pusat Data dan Informasi Universitas Pattimura Benhard Mattheis dan Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Maluku Melky Lohy yang memberikan materi Peran Diskominfo dalam Meningkatkan Literasi Digital.
Dalam sambutannya Widya mengatakan, kemajuan digital dan pemberdayaan kelompok rentan menjadi tema bahasan menarik dalam kegiatan ini. Disebut menarik karena itulah salah satu tantangan yang muncul seiring dengan berlangsungnya transformasi digital kontemporer, yakni dengan adanya kelompok yang rentan terdampak oleh kemajuan teknologi dan digitalisasi.
“Masyarakat dunia telah mengakui berbagai bentuk keberagaman mulai dari yang bersifat ciri fisik, hingga identitas sosial. Beberapa kelompok memiliki bentuk keberagaman yang unik dan khas, sehingga membutuhkan akses lebih untuk mendapatkan layanan dasar dan kelompok ini disebut kelompok rentan,”terangnya.
Widya katakan, berdasarkan United Nation Office for Disaster Risk Reduction dijelaskan, tantangan sebagai faktor fisik sosial, ekonomi dan lingkungan yang menyebabkan seseorang atau suatu komunitas semakin rawan mengalami keparahan akibat bencana dan menurut pasal 5 ayat 3 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dinyatakan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.
“Komnas HAM menyatakan kelompok rentan dan minirotas yang meliputi perempuan, anak, penyandang disabilitas, masyarakat hukum adat, orang lansia, masyarakat miskin, kelompok minoritas berdasarkan agama, ras, dan suku, dan kelompok minoritas berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender sebagai kelompok khusus. Kelompok khusus merupakan mereka yang sering mengalami hambatan sehingga menyebabkan keterlanggarnya hak, dikarenakan kerap mengalami diskriminasi oleh budaya masyarakat. Komnas ham dapat kerap menemukan diskriminasi dan perlakuan tidak menyenangkan, dari segi aksesibilitas fisik, ekonomi, maupun hukum terhadap kelompok ini,”urainya.
Menurutnya, Indonesia telah memulai program Literasi Digital Nasional sejak Mei 2021, dimana pemerintah merencanakan program ini agar mampu menjangkau sekitar 50juta rakyat hingga tahun 2024, dan diharapkan jumlahnya terus meningkat seiring berjalannya waktu.
Ia menjelaskan, Literasi digital adalah kemampuan untuk memahami dan memakai informasi dari berbagai sumber yang bisa diakses melalui perangkat komputer, karena melalui perangkat ini juga informasi dapat diakses dan disebarluaskan dengan menggunakan jaringan internet.
“Dari buku literasi digital, Unesco menjelaskan literasi digital yang berkaitan dengan life skill, yang tidak hanya melibatkan teknologi saja, tetapi juga kemampuan untuk belajar, berfikir kritis, kreatif, inovatif, untuk kompetensi digital. Jadi literasi digital adalah kemampuan untuk memahami dan menggunakan sumber informasi melalui komputer. konsep baru ini tidak hanya terkait penguasaan komputer secara teknis, tetapi juga pengetahuan dan emosi dalam menggunakan media dan perangkat digital,”jelas Widya.
Dikatakan, dalam kenyataannya ditunjukan bahwa Indonesia mulai banyak memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kelompok rentan, tapi tingkat implementasinya sangat beragam, sebagian UU sangat lemah pelaksanaannya sehingga keberadaaannya tidak memberi manfaat bagi masyarakat, disamping itu terdapat peraturan perundang-undangan yang belum sepenuhnya mengakomodasi berbagai hal yang berhubungan dengan kebutuhan bagi perlindungan kelompok rentan.
“Keberadaan masyarakat kelompok rentan yang merupakan mayoritas di negeri ini memerlukan Tindakan aktif untuk melindungi hak-hak dan kepentingan mereka melalui penegakkan hukum dan Tindakan legislasi lainnya. Hak asasi orang-orang yang diposisikan sebagi masayarakat kelompok rentan belum terpenuhi secara maksimal, sehingga membawa konsekuensi bagi kehidupan diri dan juga keluarganya, serta secara tidak langsung juga mempunyai dampak bagi masyarakat “terangnya.
Widya menyatakan, selama ini kebijakan pemerintah lebih banyak berorientasi kepada pemenuhan dan perlindungan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya, dilain pihak hak-hak yang terdapat di dalam komunitas masyarakat rentan belum mendapat prioritas dari kebijakan tersebut, sedangkan permasalahan yang mendasar di dalam komunitas masyarakat rentan adalah belum terwujudnya penegakan perlindungan hukum yang menyangkut hak-hak kelompok rentan ini.
“Era digitalisasi ini membuka pengertian dimana HAM yang perlu di lindungi dari ancaman otoritarianisme digital, penyalahgunaan data, dan desain tata Kelola digital yang tidak human sentris. Selain agitasi dalam kebebasan berpendapat transformasi digital juga membuka celah ketimpangan yang besar, apabila tidak disertai dengan pembangunan infrastruktur dan regulasi digital yang mumpuni,”ujarnya.
Dirinya menyampaikan, semakin kegiatan sosial ekonomi bermigrasi ke dunia digital, maka semakin tinggi disparitas ekonomi dan kecakapan yang dialami warga di daerah, dengan kata lain pemenuhan hak-hak dasar masyarakat tidak berjalan baik tanpa peningkatan infrastruktur teknologi yang merata
“Olehnya itu ada beberapa hal penting yang dapat mencegah pelanggaran ham di era digital, yakni penguatan partisipasi dan komitmen multipihak pada transparasi dan demokratisasi data, membentuk perantara regulasi data dan digital yang berorientasi kemanusiaan (bukan profit ataupun kekuasaan politik), meningkatkan Pendidikan soal privasi dan wawasan keadilan gender dirana digital, serta menyediakan kerangka aturan untuk pengawasan etika ataupun batasan kampanye politik berbasis data,”ungkapnya.
Pada kesempatan itu juga turut diserahkan 70 paket bantuan kepada Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia, dan GWL SMM. (it-02)