Catatan Redaksi Hot Lingkungan Maluku 

Catatan Penambangan Emas di Gunung Botak, Pulau Buru

Oleh: Pico Seno

Kegiatan penambangan emas tradisional di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku sebenarnya sudah berlangsung sejak lama, namun baru booming sekitar akhir tahun 2011 ketika ditemukannya kandungan emas yang tinggi pada tanah di desa Wamsait, Kecamatan Waepo. Sejak saat itulah jumlah penambang tradisional yang tadinya tidak mencapai 100 orang menjadi berlipat hingga mencapai ribuan orang dalam jangka waktu beberapa bulan saja.

Penambangan tradisional yang tidak berizin atau dapat disebut liar ini praktis merubah kehidupan warga setempat dan sekitar secara drastis. Berikut catatan kami mengenai kegiatan penambangan emas di Gunung Botak, Pulau Buru.

Berita mengenai penemuan emas di gunung botak memang memicu kedatangan para penambang dari luar Pulau Buru secara masif. Asal penambang pendatang bervariasi dari seluruh Indonesia, mulai dari provinsi tetangga seperti Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah hingga yang jauh seperti dari pulau Jawa dan Sumatera. Penambang pendatang yang terlihat berduyun-duyun mencapai pelabuhan Namlea terutama sekitar Januari hingga Maret 2012 ini kemudian memunculkan dinamika tersendiri bagi masyarakat dan pemerintah daerah setempat (Kabupaten Buru dan Kabupaten Buru Selatan).

Saat ini sekitar 50.000 tromol dan 1.000 tong (teknologi sianida) telah dioperasikan oleh penambang tradisional. Setiap tromol rata-rata mampu menghasilkan 50 gr emas per hari, sedangkan teknologi sianida dapat menghasilkan hingga 200 gr per hari. Assosiasi Pertambangan Rakyat Indonesia (Asperi) melakukan penghitungan kapasitas tersebut, memperkirakan sekitar 2,5 ton emas ditambang dari Gunung Botak dan dengan harga 425 juta per kg, maka dapat diperkirakan bahwa nilai produksi dapat mencapai 1,1 triliun rupiah per hari. Sedangkan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Maluku Bram Tomasoa memperkirakan hanya nilai produksi penambangan Gunung Botak tersebut hanya mencapai 1 ton per hari saja.

Jelas lonjakan ekonomi ini terkait langsung dengan dinamika sosial masyarakat Pulau Buru. Tercatat oleh kami, cukup sering kegiatan belajar mengajar di beberapa sekolah terganggu karena pendidik menyambi menjadi penambang. Bahkan beberapa pendidik tega meninggalkan anak didiknya dan beralih profesi menjadi penambang. Tidak hanya beberapa guru saja yang beralih profesi, buruh tanipun juga mulai beralih menjadi pendulang logam mulia. Bahkan wartawan kami sempat mendapati langsung beberapa pos Pemerintah Kabupaten kosong ditinggalkan petugasnya berburu emas. Ironi ini harus menjadi catatan ekonomi Pulau Buru yang sebelumnya adalah lumbung beras, dalam waktu singkat kini berubah menjadi pengimpor beras.

Lonjakan pendatang yang mendirikan tenda-tenda di Gunung Botak tersebut tentunya juga mendatangkan rejeki tambahan bagi penduduk lokal yang berdagang makanan, pulsa, dan tentunya juga pedagang emas di Namlea. Dibutuhkan penelusuran lebih lanjut yang dapat menjelaskan dinamika ekonomi Pulau Buru dan Maluku dalam konteks fenomena perburuan emas ini. Banyak pihak belum dapat mengantisipasi fenomena potensi ini sehingga menjadi industri yang bermanfaat luas bagi masyarakat. Bukan hanya listrik saja yang memang sudah sulit di Pulau Buru, saat ini semua BTS operator pun sudah tidak mampu melayani kebutuhan sambungan dengan baik.

 

Bagaimana dengan dampaknya terhadap lingkungan? Peneliti Universitas Pattimura, Yustheinus T Male memaparkan dalam sebuah diskusi publik di Unpatti bahwa keseluruhan DAS (Daerah Aliran Sungai) sungai Waeapo telah tercemar merkuri (hg). Padahal ke 13 DAS tersebut mengairi persawahan Pulau Buru.  Pencemaran tersebut terjadi karena pendulang emas membiarkan air sisa yang mengandung merkuri mengalir ke aliran-aliran sungai itu. Ancaman lingkungan ini sudah dipaparkan timnya kepada gubernur sekaligus menyampaikan rekomendasi agar pihak terkait membentuk tim terpadu lintas sektoral dari berbagai instansi, seperti Sosial, Bapedalda, Energi Sumber Daya Manusia (ESDM), perguruan tinggi dan sebagainya untuk menanggulangi ancaman-ancaman lingkungan yang lebih besar.

Kriminalitas, bentrok antar warga dan masalah sosial lain seperti kegiatan prostitusi juga meningkat. Setidaknya telah ditemukan 4 kasus HIV/AIDS di Namlea yang diduga dipicu oleh maraknya kegiatan prostitusi di lokasi penambangan. Tercatat juga belasan orang tewas dalam kerusuhan antar warga maupun perampokan bersenjata hingga hari ini. Berbagai permasalahan ini seperti menyiratkan betapa kewalahannya aparat pemerintahan setempat dalam mengantisipasi fenomena perburuan emas ini.

Upaya yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Buru untuk mendapatkan Izin Wilayah Penambangan dari Pemerintah Pusat sepertinya masih belum menuai hasil. Tidak ada kajian atau rencana strategis yang muncul baik dari daerah maupun pusat, yang bervisi kuat menyikapi potensi maupun pengelolaan masalah penambangan emas di Gunung Botak ini. Fenomena perburuan emas di Pulau Buru ini seperti menggambarkan strategi pemerintah pada umumnya, yaitu “pembiaran“. (intim)

Bagikan artikel ini

Related posts

Komentar anda:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.