Riset: Sensitivitas Tes GeNose C19 Dianggap Setara Dengan Tes PCR

GeNose C19

Jakarta, indonesiatimur.co – Ketersediaan perangkat pendeteksi Covid-19 dengan standar WHO merupakan aspek penting dalam upaya penanganan pandemi. Namun hingga hari ini Indonesia masih bermasalah dalam hal ini, setidaknya dalam aspek ketersediaan dan harga. Belum lagi proses pengujian tes RT-PCR juga memakan waktu karena keterbatasan laboratorium penguji. Hingga akhirnya GeNose C19 diperkenalkan.

Bagi negeri kepulauan dengan jumlah penduduk terbanyak ke-5 dunia, masalah ini sering dimaklumi dan dianggap lumrah karena sifat pandemi dan keterbatasan industrialisasi, namun bagi aktivis sosial, pengabaian terhadap masalah ini merupakan kegagalan pemerintah dalam melindungi warganya.

Harapan solusi dari masalah ini mulai terjawab ketika akhir tahun lalu (Desember 2020) sekelompok peneliti dari UGM mengumumkan hasil inovasi mereka yaitu perangkat pendeteksi virus Corona melalui hembusan nafas yang dinamakan GeNose C19. Klaim tingkat akurasi dari tes GeNose sebesar 97% walaupun dengan biaya yang jauh lebih murah dan proses yang jauh lebih singkat, jelas merupakan alternatif dari tes PCR yang relatif mahal dan juga terbatas ketersediaannya.

Kabar gembira itupun segera mendapat sambutan positif dari masyarakat dan pemerintah, walaupun tidak sedikit juga tanggapan skeptis atau bahkan kadang cenderung menghina yang dilontarkan oleh aktivis media sosial.

 

Penerapan Tes GeNose C19

Saat ini perangkat tes GeNose sudah digunakan untuk screening virus bagi calon penumpang Kereta Api di 10 stasiun di Pulau Jawa. Ada protokol khusus yang harus diikuti peserta tes GeNose di stasiun KA, antara lain harus berpuasa tidak makan, minum dan merokok selama 1 jam sebelum melakukan tes. Kemudian peserta tes sebaiknya mengikuti juga tahapan tes dengan seksama untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat.

  1. Peserta tes meniup kantong hingga penuh sesuai arahan dari petugas atau petunjuk yang ada di lokasi pemeriksaan.
  2. Melakukan pengambilan napas yang dalam melalui hidung dan dihembuskan melalui mulut sebanyak tiga kali sambil tetap menggunakan masker. Peniupan kantong udara dilakukan melalui bagian bawah masker dengan posisi sedikit renggangkan.
  3. Pengambilan napas pertama dan kedua dihembuskan melalui mulut dengan masker tertutup. Pengambilan napas ketiga dihembuskan dengan meniup ke dalam kantong udara sampai dengan kondisi kantong udara penuh.
  4. Setelah kantong udara terisi penuh, segera tekan katup berwarna biru untuk menutup kantong udara.
  5. Apabila hasil tes positif, peserta tes yang bersangkutan mendapatkan penanganan di ruang isolasi sementara oleh petugas kesehatan dan tidak diperbolehkan menaiki KA. Biaya tiket nantinya dikembalikan penuh. Peserta dengan hasil positif ini selanjutnya diarahkan melakukan pemeriksaan lanjutan ke rumah sakit atau puskesmas.

Pada pelaksanaan tes GeNose di stasiun-stasiun tersebut, calon penumpang KA yang berminat dikenakan biaya pelaksanaan tes GeNose sebesar 15.000 – 25.000 rupiah. Faktor biaya yang jauh lebih murah dan kecepatan memperoleh hasil dibanding metode lain inilah yang juga membuat GeNose menjadi pilihan favorit para calon penumpang KA.

Loket Tes GeNose di stasiun [foto: @dearpcy_]

Tim GeNose C19 Menjawab Keraguan Publik

Beredarnya berbagai opini kritis dari pihak terkait jelas dapat menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perangkat tes baru buatan dalam negeri ini. Beberapa opini tersebut diantaranya dilontarkan juga oleh epidemiologis.

Pertanyaan seperti mengapa harus puasa 1 jam sebelum tes dan keraguan akan akurasi hasil bila tes dilakukan pada perokok, atau bahkan kecurigaan bahwa GeNose hanya proyek yang mengejar untung karena mengincar order besar adalah beberapa hal yang membutuhkan klarifikasi sehingga perangkat tes ini memenangkan kepercayaan masyarakat.

Situs online Lokadata sempat melakukan wawancara dengan pencipta GeNose C19, Kuwat Triyana (11/2/2021) untuk memperoleh informasi lebih dalam dan spesifik yang mungkin dapat menjawab keraguan masyarakat. Namun jawaban Kuwat terkait “informasi lebih” tersebut diluar harapan pewawancara. Ketika ditanya mengenai kapan publikasi (yang lebih lengkap) mengenai GeNose, Kuwat menjawab, “Belum tahu, mungkin bulan depan”

Seperti menyadari resiko dari persepsi keliru mengenai GeNose C19, para pencipta perangkat deteksi Covid-19 ini menulis artikel pada situs The Conversation mengenai tingkat akurasi dari GeNose C19 yang diklaim setara dengan akurasi perangkat tes RT-PCR. Tersirat artikel bertanggal 17 Februari 2021 tersebut ingin menjawab keraguan yang beredar.

Melalui artikel tersebut, Kuwat Triyana dan Dian Kesumapramudya (Tim UGM) sebagai pencipta GeNose C19 menjelaskan bahwa berbagai informasi bernilai seperti algoritma kecerdasan buatan masih belum tersedia untuk publik dikarenakan beberapa proses masih berlangsung seperti pengurusan paten. Sementara kebutuhan pendeteksian menggunakan GeNose C19 tidak dapat ditunda.

 

Kombinasi Sistem Sensor Penciuman dengan Kecerdasan Buatan

Artikel tersebut menjelaskan secara sederhana konsep mesin deteksi GeNose C19 yang sebenarnya juga merupakan pengembangan dari mesin yang semula diterapkan untuk analisis makanan, minuman dan deteksi tuberkolosis.

GeNose C19 seperti hidung elektronik secara umum meniru cara kerja hidung manusia. Alat ini mendeteksi sebuah objek yang dicirikan oleh pola respons sistem sensor yang khas dan konsisten dengan sistem kecerdasan buatan berbasis machine learning yang mula-mula harus dilatih untuk mengenali objek tersebut.

Dengan demikian, GeNose C19 merupakan alat medis yang sifatnya dinamis. Maksudnya, kecerdasannya dapat ditingkatkan dengan bertambahnya data yang valid hasil pengukuran dengan sistem sensornya.

 

Perjalanan Riset Pengembangan GeNose C19

Dijelaskan juga dalam artikel tersebut mengenai 3 tahap riset pengembangan GeNose C19, yaitu penemuan konsep dan cara kerja, uji standarisasi dan terakhir uji diagnostik.

Sepanjang April hingga Agustus 2020 tim peneliti menyelesaikan tahap pertama. Tahap ini merupakan fase membandingkan pola senyawa napas pasien rawat inap di dua rumah sakit. Peneliti menggunakan lebih dari 316 sampel napas terkonfirmasi positif COVID-19 dan 299 sampel nafas negatif COVID-19.

Dari tahap pertama ini tim peneliti menemukan pola khas Volatile Organic Compound (VOC) atau senyawa organik yang mudah menguap (gas) saat dihembuskan oleh pasien COVID-19. Ternyata karakteristik VOC pasien COVID-19 berbeda secara signifikan dengan VOC yang dihembuskan oleh pasien bukan COVID-19.

VOC adalah komposisi berbagai macam gas yang diembuskan dari pernapasan. Gas ini terbentuk karena proses biologis di dalam tubuh, termasuk proses peradangan yang terjadi karena infeksi virus atau bakteri.

Pola konsentrasi senyawa VOC napas ini tidak banyak terpengaruh oleh penyakit penyerta yang telah diderita pasien yang beraneka ragam, seperti hipertensi, asma, dan pneumonia (radang paru karena penyebab bakteri atau virus lain).

Selain itu, pola VOC COVID-19 juga berbeda dengan pola VOC dari virus lain seperti paramyxovirus (penyebab campak dan infeksi saluran pernapasan akut), rhinovirus (penyebab flu biasa), respiratory syncytial virus (penyebab pneumonia virus terbanyak) atau bakteri.

Sensor yang diintegrasikan dengan sistem kecerdasan buatan yang sebelumnya telah dilatih berbagai modul pembelajaran mesin (machine learning) kemudian mendeteksi pola konsentrasi VOC napas ini. Proses ini kira-kira sama dengan menanam kecerdasan pada mesin sehingga mesin mampu mengerjakan tugas tertentu dengan presisi dan kecepatan tinggi.

Uji standarisasi dan diagnostik
Setelah pola napas yang khas diketahui dan validasi kecerdasan buatan, GeNose C19 kemudian masuk ke tahap berikutnya (Oktober–Desember 2020) berupa uji standarisasi dan uji diagnostik.

Uji standarisasi bertujuan menentukan kualitas teknis peralatan. Sedangkan uji diagnostik untuk menentukan akurasi, sensitivitas dan spesifisitas metode tes ini dibandingkan dengan alat diagnostik baku rekomendasi WHO, yaitu RT-PCR.

Nilai sensitivitas merujuk pada kemampuan alat ini memastikan bahwa jika suatu kasus terdeteksi negatif (tidak menderita penyakit), maka memang benar-benar negatif. Sementara nilai spesifisitas merupakan kemampuan alat untuk memastikan bahwa jika suatu kasus terdeteksi positif (menderita penyakit), maka memang benar-benar positif. Gabungan dari keduanya, disebut nilai akurasi, yaitu kemampuan alat untuk memberikan keputusan diagnostik yang benar, positif atau negatif.

Balai Pengawas Fasilitas Kesehatan (BPFK) telah menerbitkaan sertifikat bahwa alat GeNose C19 ini memenuhi standar kelistrikan, respons pompa, teknik, modul dan lain-lain. Uji klinik juga telah mendapat persetujuan dari Kementerian Kesehatan.

Tim penelaah independen dari universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Airlangga dan Universitas Hasanuddin telah memastikan bahwa protokol uji diagnostik memenuhi syarat dan standar cara uji klinis alat kesehatan yang baik.

Di samping itu, untuk transparansi pelaksanaan uji klinis, sejak awal pelaksanaan protokolnya telah dirinci dengan jelas dan dapat diakses melalui pangkalan data internasional untuk uji klinis dengan nomor registrasi NCT04558372.

Uji diagnostik tahap pertama menggunakan lebih dari 2.500 sampel napas yang diperoleh dari 1.476 pasien rawat jalan terduga COVID di 7 rumah sakit.

Pengambilan sampel napas untuk GeNose C19 dilakukan bersamaan dengan pengambilan sampel swab untuk RT-PCR. Masing-masing diambil dua kali pada dua hari berturut-turut.

Pengambilan sampel napas dan swab juga disertai pengambilan data klinis dan gejala, ras, riwayat kontak, makanan, minuman, hasil laboratorium dan profil foto rontgen (sesuai indikasi).

Setelah hasil uji diagnostik ini diketahui pada pertengahan Desember, tim Kementerian Kesehatan meminta tim peneliti untuk menambah subjek riset dari kalangan masyarakat umum (bukan hanya pasien rawat jalan). Tujuannya untuk menentukan keandalan mesin di berbagai kondisi lingkungan. Tim peneliti menambah 523 subjek sampel dari berbagai instansi perkantoran dengan metode skrining acak populasi umum.

Dari uji diagnostik ini tim peneliti menyusun prosedur operasi standar penggunaan GeNose C19. Dari tahap ini, tim memperoleh data mengenai kinerja metode GeNose C19: sensitivitas mencapai 89%-92%, spesifisitas 95%-96% dan akurasi 93%-94%.

Dalam konteks sensitivitas 89-92% maksudnya dari 100 orang yang terdeteksi negatif COVID-19 dengan GeNose C19, kemungkinan terdapat 8-11 orang terdeteksi positif dengan baku diagnostik RT-PCR. Ini disebut juga negatif palsu.

Spesifisitas 95-96% maksudnya dari 100 orang yang terdeteksi positif COVID-19 dengan GeNose C19, mungkin terdapat 4-5 orang terdeteksi negatif dengan baku diagnostik RT-PCR. Ini disebut juga positif palsu.

 

Perbandingan Sensitivitas Perangkat Deteksi Covid-19

Hasil dari rangkaian pengujian GeNose C19 kemudian diperbandingkan dengan perangkat deteksi lainnya dengan sumber data Kemenkes.

Metode Tes Tepat digunakan Cara Kerja Waktu hasilnya diketahui Sensitivitas (%) Spesifisitas (%) Biaya sekali tes (Rp)
RT-PCR Setelah 4 hari terpapar virus Deteksi partikel virus dari spesimen usap hidung atau tenggorokan 12 jam–1 minggu 89 100 900.000–3.500.000
Tes Cepat Antigen Setelah 4 hari terpapar Deteksi partikel virus dari spesimen usap hidung atau tenggorokan 15-30 menit 89,9 99 275.000
GeNose Setelah 2 hari terpapar Deteksi pola komposisi gas pernafasan yang khas 3 menit 89-92 95 10.000-25.000

Berdasar tabel komparasi di atas, GeNose C19 memiliki nilai sensitivitas di atas 80% (di atas standar WHO) dan sebanding dengan RT-PCR dan tes cepat antigen tapi spesifisitas GeNose C19 masih sedikit di bawah 97% (rekomendasi WHO). Perlu diketahui bahwa para ahli masih berdebat mana yang harus jadi prioritas antara sensitivitas atau spesifisitas.

Terkait perdebatan tersebut, Tim UGM menjelaskan,

Nilai sensitivitas yang rendah akan membuat terlalu banyak kasus terluput dari pendeteksian sehingga gagal diisolasi dan menulari orang lain. Nilai spesifisitas yang rendah akan membuat fasilitas kesehatan dan fasilitas karantina kewalahan menampung kasus-kasus positif yang membengkak.Level akurasi diperoleh dari gabungan perhitungan sensitivitas dan spesifisitas.

Sedangkan terkait kecepatan proses deteksi virus corona, jelas GeNose C19 lebih cepat dibanding metode PCR yang baru mendeteksi virus pada hari ke-4 atau ke-5. Dibanding PCR, GeNose C19 tidak membutuhkan penanganan sampel yang rumit dan rangkaian proses yang panjang. Keunggulan ini membuat GeNose lebih dapat diterapkan untuk pendeteksian di ranah publik. [thinkelel]

Sumber: The Conversation

Calon penumpang KA mendengarkan arahan mengenai proses deteksi virus cornan menggunakan GeNose C19. [foto: @udin_cs]