Pertanian Kupang Mengalami Kekeringan
Bencana kekeringan kini mengancam pertanian pangan, khususnya padi pada sejumlah desa di Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, NTT.
“Kekeringan itu mulai terjadi karena sudah kemarau panjang, sehingga petani diwilayah itu mulai diselimuti rasa kuatir karena tanaman padi terancam tidak berkembang karena debit air dari kali Oesao dan sumber air Pukdale mulai turun drastis,” kata Aditya Loloin (46) petani sawah panas di Naibonat kepada Antara, Kupang, Minggu.
Desa-desa yang terancam antara lain Desa Naibonat, Desa Oesao, serta lahan pertanian tanaman pangan 335 ha yang tersebar di Desa Tetkolo, Airbaun, Wilakdale dan Supdale mulai dilanda kekeringan.
Menurut dia, saat ini sekitar 200 petani yang ikut menggarap sawah di Tetkolo Pukdale benar-benar cemas, karena kejadian menurunnya debit air baru mulai terjadi tahun ini.
“Tahun-tahun sebelumnya debit air Pukdale Oesao tidak pernah menurun seperti yang terjadi saat ini,” katanya. Ia mengaku secara teknis tidak mengetahui secara pasti berapa persen penurunan debit air Pukdale yang mengairi ratusan hektar lahan sawah di Kupang.
“Penurunan debit air baru diketahui petani, ketika pematang sawah petani yang letaknya paling ujung lokasi persawahan mulai tidak mendapatkan pasokan air, saat itu diketahui kalau debit air mulai berkurang,” katanya.
“Sejak akhir Juli hingga Agustus lalu bahkan sampai hari ini sudah ada 45 petani sawah yang membuat pengaduan ke ketua kelompok tani air terkait tidak lagi mendapat pasokan air ke pematang sawahnya,” katanya.
Sebagai solusi sementara, para petani sawah mulai sepakat agar mulai menghemat air dengan membagi jadwal pendistribusian air ke setiap pematang sawah petani.
Hal ini (kekurangan debit air akibat iklim ekstrim) juga dibenarkan Semi Mahuri (38) petani sawah di kampung Baru Kelurahan Oesao, Kabupaten Kupang.
Ia mengaku untuk mengatasi kekurangan air untuk tanaman sawah yang tengah tumbuh dan berkembang terpaksa menggunakan air sumur bor yang selama ini digunakan untuk mandi untuk menyiram hamparan sawah yang ada dekat rumah tinggal.
Dia mengatakan pemanfaatan ini terpaksa ditempuh dalam dua minggu sekali, karena air summur bor itu juga harus bagikan pemanfaatannya untuk air minum, mandi, cuci dan kakus (MCK), sehingga harus hemat benar.
“Jadi ditetapkan jadwal secara bergilir pada hari tertentu dalam sepekan atau dua pekan air disedot secara bertahap sehingga semua pematang sawah bisa diairi pada saatnya,” katanya.
Mahuri berharap ada perhatian dari pemerintah kabupaten dan provinsi agar menyelamatkan tanaman sawah petani yang saat ini mulai terancam kekeringan.
“Kami akan segera menemui Dinas Pertanian-Perkebunan dan Pekerjaan Umum Kabupaten dan provinsi NTT untuk melaporkan hal ini, karena selama ini instansi teknis ini yang membantu petani air selama ini, terkat dengan masalah air untuk mengairi sawah-sawah petani,” katanya. (Antara/Juanda)