Lapas Penuh, Salah Siapa?
Oleh: Dawan Pribadi
(Pembimbing Kemasyarakatan)
Peristiwa kebakaran di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Tanggerang yang terjadi beberapa waktu yang lalu merupakan musibah yang memberikan luka yang mendalam bagi korban dan keluarga. Kebakaran tersebut telah memakan korban jiwa sebanyak 41 orang, 73 luka ringan dan 8 luka berat. Disamping insiden kebakaran, terdapat hal lain yang juga menjadi sorotan, yaitu jumlah penghuni lapas yang melebihi kapasitas.
Kabag Humas dan Protokol Kementerian Hukum dan HAM RI, Rika Aprianti, menyatakan bahwa Lapas Tangerang mengalami kelebihan warga binaan, yang mana penghuni saat ini berjumlah 2.072 orang, dari kapasitas seharusnya yaitu 600 orang. Alhasil, penuh sesak merupakan kondisi yang tidak terhindarkan.
Selain itu, pada masa pandemi COVID-19 baru-baru ini yang merupakan krisis global, tentu memiliki pengaruh besar terhadap keberadaan narapidana di Lapas/Rutan. Isu overcrowded di Lapas/Rutan di seluruh Indonesia pun menjadi perhatian akan penyebaran COVID-19.
Menurut Direktur Teknologi Informasi dan Kerja Sama Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham, Dodot Adikoeswanto data per 14 Februari 2021, terdapat 252.384 warga binaan pemasyarakatan yang terdiri atas narapidana dan tahanan. Adapun kapasitas Lapas/Rutan negara saat ini hanya untuk 135.704 orang.
Berdasarkan pemantauan media yang dilakukan ICJR, sampai dengan 18 Januari 2021 telah terjadi 1.855 infeksi COVID-19 di 46 UPT Pemasyarakatan Rutan seluruh Indonesia. 1.590 orang WBP, 122 petugas rutan/lapas, 143 orang tidak diketahui WBP atau petugas terinfeksi COVID -19. Data dari media massa menunjukkan 4 WBP meninggal dunia.
Sadar akan penularan virus yang begitu masif, pemerintah melalui Kemenkumham mengeluarkan kebijakan teknis terkait pelaksanaan Asimilasi di Rumah dalam upaya pencegahan dan penanggulangan COVID-19.
Sejatinya, isu overcrowded di Lapas/Rutan tidak hanya terjadi di Lapas Tanggerang, namun hampir seluruh Lapas/Rutan di Indonesia mengalami hal yang sama.
Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjenpas), Reynhard Silitonga dalam kegiatan Peningkatan Kapasitas Petugas Pemasyarakatan dalam Pelaksanaan Alternatif Pemidanaan bagi Pelaku Dewasa mengatakan hampir seluruh Lapas di Indonesia mengalami overcrowded, 29 dari 33 kantor wilayah juga mengalami overcrowded, bahkan Lapas Bagansiapiapi mengalami overcrowded hingga 900%. Menurutnya, overcrowded pada Lapas/Rutan dapat menimbulkan masalah baru seperti tingginya kebutuhan anggaran untuk belanja bahan makanan narapidana dan pembangunan Lapas-lapas baru, ancaman gangguan keamanan dan ketertiban seperti pelarian, kerusuhan, narkoba, hingga pungutan liat akibat sulitnya pengawasan, serta sulitnya pemenuhan layanan kesehatan dan optimalisasi pelaksanaan pembinaan kepribadian dan kemandirian.Tak kalah penting, meningkatnya risiko residivisme.
Sosiolog dari Universitas Ibnu Chaldun (UIC) Jakarta, Musni Umar mengatakan, penyebab overcrowded sejumlah Lapas yang ada di Indonesia disebabkan karena sistem hukumnya terlebih rakyatnya yang belum memahami hukum. Menurutnya, kasus kecil tidak harus diselesaikan sampai ke pemidanaan. Kalau semua persoalan apalagi sekarang ini sedikit dikit lapor, pencemaran nama baik lapor, pastilah penjara penuh, pungkasnya dalam wawancara dengan wartawan Poskota.
Menurut Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), overcrowding Lapas ini terjadi akibat beberapa masalah yang bersumber, dari tidak harmonisnya sistem peradilan pidana dalam melihat kondisi kepadatan Lapas di Indonesia. Polisi, Jaksa, dan Hakim terlihat tidak terlalu peduli dengan kondisi Lapas yang sudah kelebihan beban di luar ambang batas yang wajar seperti di Lapas Kelas I Tangerang ini.
Sistem peradilan pidana kita sangat bergantung dengan penggunaan pidana penjara sebagai hukuman utama. Pidana penjara 52 kali lebih sering digunakan oleh Jaksa dan Hakim dari pada bentuk pidana lain. Selain itu menurut ICJR, masalah lain adalah masalah kebijakan narkotika yang gagal. Mayoritas penghuni Rutan dan Lapas berasal dari tindak pidana narkotika, dengan 28.241 WBP total di seluruh Indonesia. Merupakan pengguna narkotika yang sedari awal seharusnya tidak perlu dijebloskan ke penjara. Angka itu bisa bertambah besar karena kebanyakan dari pengguna narkotika juga dijerat dengan pasal kepemilikan dan penguasaan narkotika yang digolongkan sebagai bandar. Polisi, Jaksa, dan Hakim lebih memilih mengirimkan para pengguna ini ke dalam penjara dari pada penanganan atau alternatif pemidanaan lain yang lebih manusiawi, seperti rehabilitasi atau pidana bersyarat dengan masa percobaan.
Guna menanggulangi overcrowded, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) mengupayakan langkah konkret penerapan keadilan restoratif (restorative justice) bagi pelaku tindak pidana dewasa. Pasalnya, pendekatan restorative justice ini terbukti telah berhasil mengatasi permasalahan overcrowded di beberapa negara, salah satunya Belanda.
Sebelumnya, pemerintah telah berhasil dalam menerapkan restorative justice bagi pelaku tindak pidana anak yang terwujud dalam Undang-Undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Konsep restorative justice, menurut Kuat Puji Prayitno (2012), yang dikutip oleh I Made Tambir (2019) merupakan alternatif dalam sistem peradilan pidana dengan mengedepankan pendekatan integral antara pelaku dengan korban dan masyarakat sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta kembali pada pola hubungan baik dalam masyarakat. Dengan berjalannya restorative justice, pidana penjara menjadi pilihan terakhir dan lebih mengutamakan pidana pengawasan, pidana kerja sosial dan pidana denda sebagai pidana pokok bagi setiap orang yang melakukan kejahatan.
Pencegahan overcrowded pada Lapas/Rutan dapat dicegah sejak dini ketika wacana restorative justice bagi pelaku tindak pidana dewasa bisa dilaksanakan di tingkat penyidikan, tingkat penuntutan, dan tingkat pengadilan. Selain itu, fungsi yang tidak kalah penting adalah peran Balai Pemasyarakatan (Bapas) dalam melaksanakan tugas pokok pengawasan dan pembimbingan. Kesiapan Bapas dalam melaksanakan bimbingan kemasyarakatan merupakan syarat mutlak dalam penyelenggaraan restorative justice.
Pemberian pidana alternatif sebagai upaya menurunkan pidana pemenjaraan akan membutuhkan peran dari Balai Pemasyarakatan untuk dapat memberikan pembimbingan dan pengawasan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa Balai Pemasyarakatan akan memiliki peran penting dalam menyukseskan wacana restorative justice nantinya.
Berbicara mengenai kesiapan Balai Pemasyarakatan, disadari sungguh bahwa tidak semudah yang dibayangkan. Kesiapan yang harus diutamakan adalah peningkatan kualitas Pembimbing Kemasyarakatan. Kualitas bimbingan kemasyarakatan ditentukan dengan kualitas Pembimbing Kemasyarakatannya. Selain itu, hal-hal seperti penambahan personil Pembimbing Kemasyarakatan, penambahan Balai Pemasyarakatan, tersedianya LPKA, LPAS, dan LPKS harus segera diperhatikan.
Persoalan regulasi yang nantinya mengatur jalannya restorative justice juga harus segera terjawab. Hingga nanti pada waktunya segala persiapan personil, fasilitas, dan regulasi telah terjawab, maka angin segar bagi jalannya restorative justice akan berhembus kencang. Persoalan tentang overcrowded di Lapas/Rutan berpotensi akan segera terselesaikan dengan tetap mengedepankan pemulihan keadaan bagi segala pihak yang terdampak tindak pidana.