Maluku Politik 

Pendapat dan Sikap Ketua DPRD KKT Atas Laporan Surat Mosi Tidak Percaya 17 Aleg

Saumlaki, indonesiatimur.co – Menjawab semua opini dan tulisan pada media-media masa maupun elektronik dengan substansi pemberitaan tentang “Mosi Tidak Percaya Pimpinan dan Anggota DPRD Terhadap  Jaflaun Batlayeri, SH Selaku Ketua DPRD KKT Periode 2019-2024”, membuat Ketua DPRD angkat bicara.

Melalui rilis yang diterima media ini, pada Kamis (20/05/2021) Ketua DPRD KKT mengatakan, sebagai pribadi dan Ketua DPRD KKT yang dipermasalahkan, dirinya menyampaikan pendapat dan sikap sesuai analisa dan penjelasan tentang substansi laporan.

Dimana tentang tuduhan “Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota, Pasal 35 yang menyatakan bahwa ‘Pimpinan DPRD merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif kolegial’. Namun selama menjabat sebagai Ketua DPRD, Jaflaun Batlayeri sangat otoriter dan mengabaikan asas demokrasi yang bersifat kolegial, yaitu tidak memberikan kewenangan kepada para Wakil Ketua.

“Yang dimaksud dengan kolektif kolegial merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan kepemimpinan yang melibatkan para pihak yang berkepentingan dalam semangat kebersamaan. dijelaskan, Otoriter merupakan kata serapan dari authoritative (adj.), yang berarti otoriter, berkuasa, atau yang menunjukkan kekuasaan. Sedangkan menurut KBBI, otoriter berarti berkuasa sendiri, sewenang-wenang.Dalam teori-teori demokrasi, terdapat 2 (dua) asas demokrasi, yaitu: (1) Pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan; dan (2) Pengakuan hakikat serta martabat manusia,”jelasnya.

Sedangkan, tentang kewenangan Pimpinan DPRD sebagaimana diatur dalam Pasal 33 (poin a – i) telah merinci tugas dan wewenang Pimpinan DPRD. Artinya, kewenangan Pimpinan DPRD telah melekat pada tiap-tiap Pimpinan DPRD, bukan menunggu diberikan oleh Ketua DPRD. Dalam implementasinya, Pimpinan DPRD telah melakukan pembagian tugas, sehingga setiap unsur Pimpinan DPRD telah memiliki tugas masing-masing.

Dengan penjelasan tersebut diatas, maka Batlayeri menyimpulkan bahwa
tuduhan tentang “tidak memberikan kewenangan kepada para Wakil Ketua” dikaitkan dengan “otoriter” dan “asas demokrasi” adalah keliru . Karena kewenangan para Wakil Ketua adalah “kewenangan terberi” yang telah melekat pada jabatan sesuai ketentuan PP 12/2018 Pasal 33.

“Tuduhan mengabaikan “asas demokrasi yang bersifat kolegial”, menjadi rancu karena merujuk pada teori asas demokrasi, tidak ada “sifat dari asas demokrasi yaitu kolegial,”ucapnya.

Dikatakannya, mengkategorikan tindakan “Ketua DPRD tidak memberikan kewenangan kepada para Wakil Ketua” sebagai “tindakan otoriter” dan “mengabaikan asas demokrasi” sama sekali tidak masuk akal. Nyatanya, untuk membuat MOSI TIDAK PERCAYA ini, salah satu Wakil Ketua DPRD secara langsung bisa memimpin Rapat Paripurna DPRD sekalipun tidak diagendakan melalui Rapat Pimpinan DPRD sebagaimana rujukan Tata Tertib. Justru tindakan memimpin rapat Paripurna inilah yang bisa dikategorikan sebagai tindakan otoriter karena bertindak “sewenang-wenang” dan “merasa berkuasa sendiri”.

“Kecuali itu, dalam implementasi fungsi, tugas dan wewenang, selalu dilaksanakan dengan mendistribusikan peran memimpin sidang-sidang (termasuk Paripurna) DPRD kepada para Wakil Ketua. Misalnya dalam pembahasan APBD 2020 lalu, sejak pembahasan awal sampai selesai, semua dipimpin oleh Wakil Ketua I,”katanya.

Menurutnya, tuduhan tentang “sangat otoriter” tidak memiliki pijakan yuridis yang kuat karena DPRD KKT merupakan bagian dari lembaga negara di dalam NKRI yang dalam konstitusi dasarnya menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) yang mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi, bukan negara kekuasaan (machstaat).

Terhadap tunduhan poin dua yakni
“Jaflaun Batlayeri telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan dan melanggar peraturan perundang-undangan sehingga beberapa kali Fraksi-Fraksi walk out dari Paripurna yang digelar bersama Pemerintah Daerah dan Forkopimda sehingga Paripurna ditutup, para Anggota tidak hadir pada saat Jaflaun Batlayeri memimpin sidang, diusir keluar dari Paripurna oleh Anggota DPRD, dan terakhir dilempar mic oleh anggota DPRD

“Analisis dan penjelasan
Lembaga DPRD KKT terdiri dari banyak Anggota dengan berbagai konfigurasi latar belakang sosial-politik, yang sudah tentu membawa/memboncengi berbagai macam kepentingan politik. Untuk memperjuangkan kepentingan politiknya di DPRD, maka setiap Anggota DPRD pasti akan menjalankan taktik dan strategi perjuangan guna mewujudkan target politiknya tersebut. Dalam prakteknya, biasa diwujudkan melalui tindakan walk out, tidak menghadiri Paripurna, mengusir keluar rekan atau Pimpinan DPRD, hingga melempar mic. Motivasinya pasti amat beragam, termasuk mencari sensasi atau perhatian dari konstituen/rakyat yang diwakilinya sehingga bisa lebih terkenal.Semua praktek tersebut adalah dinamika dan cara untuk mencapai tujuan politik, sehingga wajar terjadi di setiap proses politik di DPRD. Yang tidak wajar adalah beberapa dari tindakan tersebut (misalnya: mengusir Pimpinan Rapat dan melempar mic) justru telah melanggar Kode Etik sebagaimana dimaksud dalam Tata Tertib, namun dianggap sebagai tindakan yang wajar dan benar sehingga mau dibangga-banggakan. Mestinya, atas tindakan tidak hadir dalam rapat paripurna, mengusir Pimpinan/Anggota DPRD, dan melempar mic, dapat diproses dan dikenakan sanksi etik, bukan dibanggakan atau dibenarkan,”ungkapnya.

Tetapi atas semangat kebersamaan dan sifat manusiawi dari setiap Anggota dan Pimpinan DPRD yang bisa saja khilaf dan tidak disengaja, maka dikatakannya, semua persoalan tersebut selalu diselesaikan dengan semangat kekeluargaan dan budaya hidup orang Tanimbar.

“Jika sejauh ini terdapat tindakan  Jaflaun Batlayeri, SH selaku Pimpinan DPRD telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan dan melanggar peraturan perundang-undangan, mestinya telah dilaporkan dan diproses oleh Badan Kehormatan DPRD, bukan disikapi dengan tindakan yang justru melanggar aturan seperti yang disebutkan: tidak hadir dalam rapat paripurna, mengusir Pimpinan/Anggota DPRD, dan melempar mic.Tentang tuduhan “pernah dilempar mic”, hal itu pernah terjadi 1 (satu) kali dan telah diselesaikan secara kekeluargaan dengan saling memaafkan antar Pelaku dengan kami sebagai Korban,”bebernya.

Sementara tuduhan III, “Tidak mampu memperjuangkan kepentingan rakyat yang disampaikan oleh para Anggota DPRD yang merupakan Wakil Rakyat, yaitu tidak mengawal Pokir-Pokir (Pokok Pikiran) Anggota DPRD yang merupakan amanat Undang-Undang bahkan meminta masing-masing Anggota DPRD untuk mengawal sendiri Pokir-Pokir tersebut pada OPD-OPD hingga ke Bupati selaku Kepala Daerah”Ketua DPRD mengatakan, memperjuangkan Pokir Anggota DPRD hanyalah bagian kecil dari tanggungjawab memperjuangkan kepentingan rakyat, sehingga ketika tidak mengawal Pokir Anggota DPRD bisa dijustifikasi sebagai “tidak mampu memperjuangkan kepentingan rakyat”.

“PP 12/2018 Pasal 33 menguraikan tentang tugas dan wewenang Pimpinan DPRD, yaitu poin a – poin i. Merujuk pasal tersebut, ternyata tidak ada tugas dan wewenang Pimpinan (Ketua) DPRD yang secara spesifik menyebutkan kewajiban untuk “mengawal Pokir Anggota DPRD”. Artinya, memperjuangkan Pokir Anggota DPRD bukan bagian dari tugas dan wewenang Pimpinan DPRD yang jika tidak dilaksanakan maka dapat dikenakan sanksi etik maupun sanksi hukum.Meski demikian, sejauh ini sebagai Pimpinan (Ketua) DPRD, saya telah mengambil langkah-langkah koordinatif sehingga semua Pokir Anggota DPRD KKT dapat diakomodir oleh Pihak Eksekutif, kecuali Pokir dari salah satu Anggota DPRD atas nama Erens Y. Feninlambir dari Fraksi Berkarya. Namun setelah dikoordinasikan ulang, Pokir tersebut nantinya akan diakomodir dalam mekanisme perubahan APBD,”terangnya.

Berikutnya tuduhan IV:l adalah “Pimpinan dan seluruh Anggota DPRD KKT menyatakan sikap untuk tidak akan membahas agenda-agenda strategis daerah jika dipimpin oleh Sdr. Jaflaun Batlayeri, SH”.

Batlayeri mengungkapkan, pernyataan tersebut secara jelas telah meng-klaim sikap dari semua Pimpinan dan Anggota DPRD, padahal nyatanya hanya sekelompok oknum-oknum Anggota DPRD. Buktinya adalah tidak semua Pimpinan (paling tidak termasuk saya) dan Anggota DPRD yang menandatangani surat MOSI TIDAK PERCAYA ini.

“Tindakan meng-klaim ini justru telah mengarah ke praktek “diktator mayoritas” karena telah mengatas-namakan seluruh Pimpinan dan Anggota DPRD. Tindakan ini juga dapat dikategorikan sebagai tindakan mengebiri nilai-nilai demokrasi yang sebenarnya menghargai perbedaan pendapat.Setiap Anggota DPRD mestinya dapat membedakan dan meletakkan kepentingan rakyat diatas kepentingan politik pribadi, Partai Politik dan kelompoknya. Bukan sebaliknya mengorbankan kepentingan daerah dan nasib rakyat dengan mengedepankan sikap egois dan mengutamakan kepentingan pribadi, sehingga tidak mau membahas agenda-agenda strategis daerah jika sidang DPRD dipimpin oleh Ketua DPRD (Jaflaun Batlayeri),”jelasnya.

Tentang Tuduhan V, adalah Bertindak sendiri mengambil keputusan mengatasnamakan lembaga DPRD, seperti:
Merasa diri seperti kepala di lembaga DPRD sehingga semena-mena mengintervensi tugas Sekwan dalam mengatur seluruh operasional kepegawaian dan administrasi lembaga;
Mengeluarkan surat pergantian Sekretaris DPRD tanpa berkoordinasi dengan Pimpinan lainnya.

Batlayeri menjawab, bahwa Tata Tertib DPRD KKT menjelaskan bahwa Sekretaris DPRD adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang memimpin Sekretariat DPRD KKT. Sedangkan Sekretariat DPRD adalah perangkat daerah yang merupakan unsur pembantu DPRD KKT dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya.

Artinya, fungsi Sekretaris DPRD sifatnya membantu dan/atau memberikan dukungan berupa bantuan kepada DPRD dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya, sehingga semua fungsi, tugas dan wewenang DPRD dapat berjalan secara baik. Dengan demikian, hubungan antara Sekretaris DPRD dengan DPRD bersifat koordinatif, sehingga DPRD (Pimpinan sekalipun) tidak dapat mengganti dan/atau mengeluarkan surat pergantian Sekretaris DPRD.

“Tetapi, berkenaan dengan kinerja Sekretaris DPRD, maka sebagai Pimpinan (Ketua) DPRD yang selalu melaksanakan tugas koordinatif dengan Sekretaris DPRD, sejauh ini kami merasa belum mendapat dukungan yang maksimal sehingga acapkali mengganggu kelancaran tugas-tugas DPRD, sehingga tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Sering kami terpaksa langsung berhubungan dengan para staf DPRD berkaitan dengan hal-hal yang bersifat administratif, bahkan terkadang kami sendiri yang menyiapkan urusan-urusan teknis administratif, daripada membiarkan tugas-tugas terhambat dan kepentingan rakyat dikorbankan.Atas dasar itu, kami berkoordinasi dengan semua unsur Pimpinan DPRD untuk menyiapkan surat usulan pergantian Sekretaris DPRD, dengan maksud agar supaya DPRD bisa mendapatkan figur Sekretaris DPRD yang berkomitmen tinggi untuk mendukung seluruh pelaksanaan fungsi DPRD. Saat dikoordinasikan, Wakil Ketua I saat itu berada di Saumlaki dan telah memberi persetujuan, sedangkan Wakil Ketua II sedang berada di Kota Ambon tetapi justru meminta agar sifat suratnya adalah rekomendasi dan telah menyatakan persetujuan atas usulan pergantian Sekretaris DPRD tersebut,”jawabnya.

Dilain pihak, Batlayeri menegaskan, tidak ada tindakan dirinya, yang mengatur seluruh operasional kepegawaian dan administrasi lembaga. Contoh sederhana: apakah saya membuat seluruh surat-surat di DPRD? Atau saya menjadi juru bayar seluruh transaksi keuangan di DPRD?

Sedangkan menyangkut Tuduhan VI yakni “Dan masih banyak lagi tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Jaflaun Batlayeri, yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah dan Tata Tertib DPRD.

Dikatakannya bahwa
pihaknya menyadari lembaga DPRD merupakan lembaga politik sehingga setiap tindakan Anggota DPRD termasuk membuat MOSI TIDAK PERCAYA ini merupakan ekspresi politik. Meski demikian, substansi yang disampaikan mesti jelas, bukan “asal tuduh” tanpa menjelaskan bentuk tindakannya yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah dan Tata Tertib DPRD yang mana, berikut pasal dan ayat berapa yang bertentangan.

“Hal ini penting agar supaya lembaga DPRD bukan menjadi medan pertarungan fitnah, tetapi medan pertarungan ide dan gagasan untuk kemajuan daerah dan kesejahteraan rakyat,”jelasnya

Merujuk pada analisis dan penjelasan tentang substansi laporan tersebut diatas,Batlayeri menjelaskan proses sampai lahirnya “MOSI TIDAK PERCAYA” tersebut, maka kami berpendapat Tentang Proses Lahirnya “MOSI TIDAK PERCAYA”.

Tindakan dari salah satu Pimpinan (Wakil Ketua) DPRD yang memimpin rapat paripurna DPRD KKT pada tanggal 11 Mei 2021 merupakan tindakan yang melanggar ketentuan PP 12/2018 Pasal 37 tentang sifat kolektif dan kolegial dari Pimpinan DPRD.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka tugas dan wewenang memimpin rapat DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a adalah tugas yang melekat pada jabatan Pimpinan DPRD secara kolektif-kolegial, bukan pada unsur Wakil Ketua. Sehingga, ketika rapat Paripurna tidak melalui inisiatif rapat Pimpinan DPRD, maka rapat Paripurna berikut hasil-hasil tidak memiliki dasar pijakan yuridis yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Dengan kata lain, jika Rapat Paripurna melalui proses yang cacat prosedur, maka hasil-hasilnya pun cacat secara hukum sehingga setiap oknum Pimpinan DPRD yang terlibat dalam melahirkan keputusan yang cacat hukum mesti dimintai pertanggungjawaban secara hukum pula.

“Tindakan mal administratif, dimana ketika keputusan rapat Paripurna pada tanggal 11 Mei 2021 tersebut selanjutnya dituangkan dalam sebuah surat dengan Kop DPRD KKT tanpa memiliki nomor, lampiran, perihal, stempel, termasuk memuat tembusan yang tidak sesuai dengan kaidah administrasi dan proses administrasi di DPRD, maka tindakan tersebut telah melanggar prinsip-prinsip hukum administratif sehingga cacat secara administratif (mal administrasi).Tindakan menyampaikan tembusan surat ke Pimpinan Partai Politik (DPD, DPW dan DPP) merupakan tindakan yang bertentangan dengan proses penyelesaian perkara sebagaimana diatur dalam Tata Tertib DPRD KKT termasuk Tata Beracara di BK DPRD KKT,”tandasnya.

Tentang keikutsertaan oknum Anggota Badan Kehormatan DPRD KKT, dia mengatakan,  Badan Kehormatan (BK) DPRD KKT merupakan salah satu Alat Kelengkapan DPRD yang secara fungsional diduduki oleh orang-orang yang memiliki integritas diri yang tinggi sehingga selain menghindari adanya perilaku tercela, juga dapat menjadi teladan bagi sesama Anggota DPRD lainnya.

“Yang terjadi sekarang dalam permasalahan ini adalah justru keterlibatan 2 (dua) oknum Anggota BK (termasuk unsur Pimpinan) yang turut serta dalam proses hingga lahirnya surat MOSI TIDAK PERCAYA dan secara otomatis menjadi Pihak Pelapor di BK.Bagaimana kemudian Anggota BK menjadi “Pihak Pelapor” dan “Hakim” secara bersamaan atas kasus yang dilaporkannya sendiri? Bagaimana para Hakim BK bisa menghindari conflict of interest padahal mereka sendiri bertindak sebagai Pihak Pelapor? Oleh sebab itu, tindakan para Anggota BK tersebut telah menciderai marwah dari BK DPRD sehingga secara etik tidak pada tempatnya menjadi Anggota BK dan/atau Hakim BK yang akan mengadili perkara ini,”tanyanya.

Tentang substansi laporan dan tuduhan-tuduhan yang disampaikan (Tuduhan I s.d Tuduhan VI) , Ketua DPRD menegaskan,sangat kabur, penuh prasangka dan asumsi, dibesar-besarkan, serta tidak berdasarkan pada fakta hukum yang dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun materil. Dengan demikian, maka semua tuduhan hanyalah merupakan fitnah belaka yang sangat keji;

” Patut diduga motivasi utama dari “Mosi Tidak Percaya” tersebut adalah motif politik, bukan motif kinerja. Artinya, tindakan tersebut dimaksudkan untuk menjatuhkan kredibilitas, harkat, martabat, kehormatan dan harga diri Sdr. Jaflaun Batlayeri, SH secara pribadi dan sebagai Pimpinan (Ketua) DPRD KKT, bukan untuk perbaikan kinerja lembaga DPRD KKT. Atas dasar itu, maka demi menjaga kredibilitas, harkat, martabat, kehormatan dan harga diri kami baik secara pribadi maupun sebagai Pimpinan (Ketua) DPRD KKT, dengan ini kami nyatakan sikap,tidak dapat menerima semua tuduhan-tuduhan sebagaimana tersebut diatas; meminta kepada Badan Kehormatan DPRD KKT agar dapat memproses oknum-oknum Pimpinan dan Anggota DPRD KKT yang menyampaikan tuduhan-tuduhan tersebut karena patut diduga telah melanggar Kode Etik sebagai Pimpinan dan Anggota DPRD KKT sebagaimana telah kami uraikan diatas; meneruskan permasalahan ini ke ranah hukum, khususnya atas semua tuduhan yang telah mengarah dan mengandung unsur pidana kepada pribadi kami sebagai warga negara yang dilindungi hukum positif berdasarkan ketentuan KUHP dan UU ITE, karena tuduhan-tuduhan tersebut telah disebar-luaskan melalui media massa sehingga telah menjadi konsumsi publik,”tegasnya. (it-03)

 

Bagikan artikel ini

Related posts

Komentar anda:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.