Ini Nama Sebenarnya Dari Pahlawan Bhayangkari Teladan, Bukan Mathilda Batlayeri
Ambon, indonesiatimur.co – Ternyata nama sebenarnya dari seorang sosok berjuluk Pahlawan Bhayangkari Teladan yang selama ini terpatri jelas di lembaran Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan nama besar, Mathilda Batlayeri, adalah Matelda Batlyare. Hal itu diungkapkan salah seorang cucunya, Pius Alaraman Batlyare (42) kepada indonesiatimur.co saat dihubungi melalui telepon selulernya, Senin (11/07/2022).
Sosok Matelda Batlyare sendiri dikenal atas perjuangan gigihnya mewakili sang suami yang adalah seorang Anggota Polisi untuk mempertahankan Pos/Asrama Polisi Kurau di Kabupaten Tanah Laut (dahulu dikenal dengan nama Kewedanan Tanah Laut), Provinsi Kalimantan Selatan, dari serangan brutal Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK) yang dipimpin oleh Ibnu Hadjar dengan nama Kesatuan Rakyat yang Tertindas (KRyT) pada tanggal 28 September 1953.
Kala itu, Matelda Batlyare nekat menghadang musuh bersama 5 orang Polisi lainnya dengan menenteng sepucuk senjata berjenis Mauser buatan Jerman milik suaminya, sambil menggendong seorang putrinya yang masih belia untuk menembaki musuh. Perlawanan yang tidak seimbang itu menyebabkan satu demi satu anak Matelda gugur tertembak bersama 5 anggota Polisi yang ikut berjuang. Bahkan, pimpinan penyerangan bernama Suwardi yang katanya kebal peluru dan alat tajam lainnya, tewas ditembak oleh Srikandi Tanimbar ini saat itu.
Sementara keberadaan suami Matelda saat terjadinya penyerangan, terjebak di sebuah sumur yang berada tidak jauh dari Asrama Kurau saat dirinya sedang mengambil air. Lantaran areal sumur dan juga asrama yang sudah dikepung GPK KRyT, sehingga suami Matelda menyelamatkan diri dan terjebak di sumur dimaksud sambil berharap anak istrinya sudah bersama warga asrama lainnya telah menyelamatkan diri, namun takdir berkata lain. Pasca gugurnya 5 Anggota Polisi bersama putra-putri Matelda Batlyare, semangat dan kegigihannya untuk berjuang semakin berkobar meski pada akhirnya, dirinya kemudian ikut gugur dalam pertempuran berdarah saat itu.
Melihat semuanya telah gugur, pasukan KRyT langsung membumihanguskan pos dan asrama bersama jenazah Matelda yang sedang mengandung bersama ketiga anaknya dan 5 Polisi lainnya, hangus terpanggang dalam kobaran api.
Berkat jasa-jasa tersebut, Organisasi Bhayangkari Pusat kemudian memberikan penghargaan berupa Medali Melati kepada sosok Matelda Batlyare sebagai Pahlawan Bhayangkari Teladan, 30 tahun setelah peristiwa berdarah itu.
Bersamaan dengan tahun itu pula, atas perintah Kadapol XIII Kalselteng Brigjen Pol. Drs. Sanusi (Mantan Kapolri periode 1987-1991), maka dibangunlah sebuah “Monumen Bhayangkari Teladan Matelda Batlyare” di Kurau untuk mengenang jasa beliau. Pengerjaan monumen tersebut selesai pada tanggal 15 Oktober 1983. Kemudian, bertepatan dengan Hari Pahlawan 10 November 1983, monumen tersebut diresmikan oleh Ketua Umum Pengurus Pusat Bhayangkari Ny. Anton Soedjarwo (istri Kapolri Jenderal Polisi Anton Soedjarwo periode 1982-1987)
Pada bagian depan monumen terdapat relief peristiwa penyerangan Pos dan Asrama Polisi Kurau dan terdapat ukiran tulisan yang berbunyi, “Kepada penerusku, aku Bhayangkari dan anak-anakku terkapar di sini, di Bumi Kurau yang sunyi, semoga pahatan pengabdianku memberi arti pada Ibu Pertiwi”.
Berdasarkan peristiwa tersebut, Pius Alaraman menjelaskan, jika diuraikan menurut sistem kekerabatan Patrilineal (keturunan garis lurus dari ayah), dirinya merupakan cucu dari suami Matelda Batlyare bernama Adrianus Tanbey Laitaman Batlyare, yang kala itu merupakan Anggota Polisi berpangkat Ajun Agen II, yang tinggal serta bertugas pada Pos/Asrama Polisi Kurau. Hal itu dibuktikan dirinya sesuai dokumen otentik yang dikantongi keluarga besar Batlyare selama ini berupa Surat Pernyataan Ahli Waris, Ijazah Sekolah Rakyat (SR) dan Surat Babtis milik kakeknya, Surat Nikah, serta Keterangan Kependudukan yang tercatat dalam buku register Desa Oibur Sifnane Omele, sebuah desa yang terletak di Kelurahan Saumlaki, Kecamatan Tanimbar Selatan, Kabupaten Kepulauan Tanimbar (sekarang), yang dulunya bernama Kabupaten Maluku Tenggara Barat.
Dirinya menuturkan bahwa kakeknya, Adrianus Tanbey Laitaman Batlyare, menikah dengan Matelda Lamere (marga sebelum menikah/bujang) secara Katolik pada tahun 1944. Dari hubungan pernikahan tersebut, keduanya kemudian dikaruniai 4 orang anak yang terdiri dari 3 orang putra dan 1 putri. Ke-4 anak tersebut masing-masing bernama Lodevikus Batlyare berusia 9 tahun, Alexus Batlyare berusia 6 tahun, si bungsu perempuan bernama Maxima Batlyare berusia 2,5 tahun yang juga gugur dalam pelukan sang ibu saat menghadapi para GPK, dan 1 orang putra lagi yang masih berusia 5 bulan dalam kandungan.
“Anak dari nenek Matelda Batlyare sebenarnya ada 4 orang. Tiga putra dan satu putri. Lodewijk yang sulung, Alexander yang kedua, seorang putri bernama Max yang sementara digendong nenek Matelda saat bertempur, dan seorang putra lagi yang sementara di dalam rahim nenek Matelda saat itu. Hal ini harus jelas supaya sejarah tidak kabur hingga turun-temurun,” beber pria berdarah asli Tanimbar ini.
Ia melanjutkan, melihat satu-persatu anaknya telah gugur, maka jiwa patriot sebagai Pahlawan Bhayangkari Teladan dan sekaligus sebagai putri Tanimbar muncul dan berjuang mati-matian hingga titik darah penghabisan.
Dirinya berharap, pada intinya bukanlah nama dan marga dari mendiang nenek Matelda Batlyare sebagai hal utama yang diinginkan pihak keluarganya untuk dirubah, namun kiranya, perjuangan yang dilakukan dan ditunjukan untuk mempertahankan jati diri Polri, dalam hal ini yang merupakan bagian dari NKRI yang patut dikenang sebagai perjuangan mulia untuk bangsa ini.
Tak lupa pula, dirinya berterima kasih kepada Kapolda Maluku Irjen Pol. Drs. Lotharia Latif, SH.,M.Hum., yang telah mengundang dirinya bersama cucu dari Pahlawan Nasional Karel Sadsuitubun pada syukuran peringatan Hari Bhayangkara ke-76 yang dikemas Polda Maluku dalam acara ramah-tamah Malam Basudara Manise yang digelar Polda Maluku di Auditorium Unpatti Ambon pada Kamis (07/07/2022) pekan kemarin, dan sekaligus memberikan tali asih berupa penghargaan atas jasa perjuangan Matelda Batlyare dan Karel Sadsuitubun.
“Saya pribadi sebagai cucu merasa bangga karena kami semua merasa dihormati dan dihargai. Walaupun kami tidak pernah meminta balasan atas jasa-jasa perjuangan beliau, namun yang terpenting kami dapat dihargai sebagai keluarga pahlawan, dan itu sudah cukup bagi kami,” ucapnya.
Pius Alaraman Batlyare juga berharap kepada Kapolda Maluku, agar kiranya proses perubahan nama dan marga dari Mahilda Batlayeri yang telah ada selama ini ke nama sebenarnya yakni, Matelda Batlyare dapat diproses untuk dirubah menurut tahapan mekanisme yang ada, sesuai dengan dokumen-dokumen yang telah diserahkan kepada pihak Polda Maluku. (it-03)