Catatan Kritis Usemahu Terkait Penangkapan Kapal Terduga Transhipment
Ambon, indonesiatimur.co – Hilirisasi Perikanan di Maluku akan sulit terlaksana jika praktek Transhipment (Alih muat ikan di Tengah Laut) masih terus berlangsung.
“Hilirisasi perikanan adalah upaya peningkatan nilai tambah melalui pengolahan hingga pemasaran hasil perikanan menjadi produk turunan lain. Sebagai contoh produk perikanan tangkap dan budidaya yang dapat diolah menjadi ikan fillet, Ikan kaleng, tepung ikan, susu ikan, dan ekstrak ikan lainnya,”ujar Amrullah Usehamu, Wakil Ketua Departemen Perencanaan Strategis Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN), terkait penangkapan 10 kapal terduga pelaku transhipment di laut Arafura oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan beberapa waktu lalu.
Amrullah katakan, bagaimana Maluku mau melakukan Hilirisasi Perikanan sedangkan bahan baku (ikan) masih dibawa keluar Maluku melalui praktek transhipment ini.
“Daerah pastinya tidak akan dapat keuntungan apa-apa. Apakah Maluku punya Industrialisasi pengolahan ikan seperti pengalengan, pemanggangan, Ekstraksi, Surimi dan lain-lain? Kayaknya belum ada, yang ada masih pada kegiatan Pembekuan dan produk segar/beku. Bahan mentah menjadi bahan jadi masih diolah diluar Maluku,”tanyanya.
Dia tegaskan, transhipment masih berlangsung dengan adanya surat edaran MKP no B.2403/Men-KP/XII/2024 tentang transisi kebijakan penangkapan ikan terukur, padahal di PP nomor 11 tahun 2023 tentang penangkapan ikan terukur (PIT) telah diatur Pelabuhan pangkalan (PP) terdekat menyesuaikan zona PIT.
“Seandainya saja Kapal-kapal penangkap ikan ini melakukan pendaratan ikan di PP terdekat wilayah Maluku akan berdampak secara ekonomi dari sisi pendapatan daerah melalui pelayanan barang/jasa tambat labuh kapal pada pelabuhan Perikanan melalui penarikan retribusi dan peluang lapangan kerja baru bagi masyarakat sekitar di Unit pengolahan Ikan (UPI),”tandasnya.
Menurutnya, kalau dilihat dari persebaran UPI, industri pengolahan ikan semua masih terpusat di pulau Jawa. Data berdasarkan sertifikat GMP 2020, terdapat 485 UPI di pulau Jawa dan di Maluku hanya 29 Unit walau memang untuk data terupdate telah mengalami peningkatan (93 Unit Swasta dan 15 Pemda) namun ini masih sebatas UPI pembekuan (produk segar/beku) belum ada pada industrialisasi produk turunan.
“Pertanyaannya mengapa transhipment masih dilakukan?? Ya jawabannya simpel saja untuk memenuhi kebutuhan bahan baku untuk UPI yang dominan berada di Pulau Jawa dan merupakan mitra kapal penangkap ikan beroperasi di WPP 718. dan Kenapa tidak di hentikan?? Jika terhenti maka industri Perikanannya akan kekurangan pasokan bahan baku olahan dan tidak bisa operasional,”terangnya.
Dia ungkapkan, muncul pertanyaan baru lagi, mengapa Industri Perikanannya tidak di bangun di Maluku atau sekitar zona 3 PIT kan daerah penangkapan ikannya di WPP 718 yang meliputi Laut Aru, Arafura dan Laut Timor bagian timur.
Ikan ditangkap di daerah lain pendaratannya di daerah lain yang dari sisi PAD tidak memberikan kontribusi apalagi Provinsi tidak mendapatkan Dana bagi Hasil (DBH) kecuali Kabupaten/Kota dan itu berdasarkan luas Laut bukan jumlah produksi perikanan. Padahal provinsi di sekitar WPP tsb terus menjaga kelestarian sumberdaya pesisir dan Pulau Pulau kecilnya.
“Analisa saya salah satu pertimbangan tetap dilakukan transhipment yakni selain biaya logistik, ini untuk memenuhi kebutuhan bahan baku olahan baik untuk kebutuhan lokal dan ekspor yang dari sisi jumlah serapan bahan bakunya akan tinggi karena dilihat dari sisi konsumen, jumlah penduduk yang ada di Pulau Jawa yang tersebar di beberapa provinsi itu mencapai 153 Juta jiwa dibandingkan dengan Maluku yang hanya 1,9 juta jiwa. Maluku masuk daerah 3T seharusnya menjadi perhatian dari sisi kebijakan nasional untuk mengejar ketertinggalannya dan mengentaskan kemiskinan dengan potensi sumberdaya lautnya,”ucapnya.
Win-win solution yang bisa dilakukan, pertama, transhipment segera dihentikan dan jika berjalan dalam masa transisi ini proses alih muatnya dilakukan di darat pada PP terdekat sehingga dapat tercatat komoditi (Ikan) yang dibawa keluar daerah dan secara tidak langsung ada aktifitas di PP dan berdampak bagi daerah. Kedua Formulasi perhitungan DBH Perikanan perlu dihitung ulang selain dilihat Luas laut namun juga Produksi Perikanannya dan Provinsi juga menerima DBH sesuai kewenangannya. Ketiga, hilirisasi segera dilakukan di Maluku dengan ditetapkannya 77 PSN oleh Presiden Prabowo Subianto yakni Pengembangan Pelabuhan Ambon Terpadu Dilakukan di Provinsi Maluku dengan pelaksana Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Perhubungan kiranya ini menjadi pintu masuk sistim logistik dan industrialisasi Perikanan bangkit dari Timur Indonesia. (it-02)