Batlayeri: Kalau Mau Habisi Saya, Jangan Korbankan Nasib dan Kepentingan Rakyat Tanimbar
Saumlaki, indonesiatimur.co – Pekan kemarin publik di seantero Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT) bahkan Maluku dihebohkan dengan beredarnya berita dan cuplikan surat di sejumlah media online dan platform medsos tentang penyampaian mosi tidak percaya dari Pimpinan dan Anggota DPRD KKT terhadap Jaflaun Batlayeri, SH selaku Ketua DPRD KKT Periode 2019-2024.
Bagaimana sebenarnya duduk soal dan apa tanggapan Jaflaun “Omans” Batlayeri, SH (JOB) selaku pihak yang dituduhkan? Berikut kami sajikan hasil wawancara eksklusif Indonesia Timur.co (IT) di ruang kerjanya.
IT: Publik dibuat kaget sekaligus bingung ketika surat mosi tidak percaya itu beredar. Sebenarnya ada apa sehingga tiba-tiba ramai di media massa dan dunia maya tentang mosi tidak percaya itu Pak?
JOB : Hehehe…, jangankan jurnalis dan masyarakat yang bingung, saya yang dituduhkan saja bingung… tidak ada “angin” dan “hujan”, tiba-tiba 16 Anggota + 1 Pimpinan DPRD menggelar Paripurna dan menyampaikan mosi tidak percaya kepada saya. Jika itu berkaitan dengan pembahasan APBD atau kepentingan rakyat, atau saya menyalah-gunakan tugas dan wewenang sebagai Pimpinan DPRD, maka terus terang saya hargai itu. Mungkin juga saya mundur teratur tanpa harus dimosi. Tapi ini tentang urusan tidak jelas, seolah tidur malam mendapat bisikan tahyul tentang keburukan saya, besoknya buat mosi tidak percaya
IT: Mereka menyebut Pak Ketua tidak memberikan kewenangan kepada para Wakil Ketua sehingga menuduh Pak Ketua sangat otoriter dan mengabaikan asas demokrasi yang bersifat kolegial dalam kepemimpinan DPRD berdasarkan ketentuan Pasal 35 PP 12/2018. Tanggapan Pak Ketua?
JOB : Begini jadinya kalau ‘mau menyeberang lautan tapi pinjam layar orang lain, pasti gamang mengarahkan layar dan akhirnya kebablasan’. Dalam teori demokrasi hanya ada 2 asas, yaitu (1) partisipasi rakyat dalam pemerintahan; dan (2) pengakuan hakikat/martabat manusia. Tidak ada itu asas demokrasi kolektif kolegial. Frasa “kolektif kolegial” yang dimaksud Pasal 35 sebenarnya tentang sifat kepemimpinan yang mengedepankan kebersamaan. Dan sejauh ini berjalan begitu. Misalnya ketika hendak mengambil keputusan, saya selalu pastikan keterlibatan semua unsur, minimal by handphone. Itulah praktek sifat “kolektif-kolegial”. Beda dengan tugas dan wewenang Pimpinan DPRD yang diatur dalam Pasal 33 PP 12/2018 huruf a – i. Artinya, wewenang itu sudah “terberi” oleh PP dan telah melekat pada jabatan, bukan menunggu diberikan oleh Ketua DPRD. Maka kalau sekarang dibilang saya tidak memberi kewenangan, itu keliru.
IT : Pak Ketua juga disebut sangat otoriter
JOB : Waduh… kalau itu lebih parah lagi… ibarat bukan cuma ‘meminjam layar orang lain untuk menyeberang lautan’, tapi ‘tidak punya ilmu berlayar’… Bagaimana bisa menuduh saya otoriter karena tidak memberikan wewenang, padahal wewenang sudah diberikan oleh PP. Hati-hati dengan tuduhan itu, berbahaya sekali. Saya bisa dipersepsikan oleh rakyat sebagai diktator, dan itu merusak saya sebagai politisi. Harusnya tahu, otoriter itu kata serapan dari authoritative yang berarti menunjukkan kekuasaan, berkuasa sendiri, dan sewenang-wenang. Konsekwensinya, semua peraturan turunan dibuat sedemikian rupa untuk menghindari praktek otoriter di semua proses bernegara termasuk pada mekanisme kerja Pimpinan DPRD. Kecuali kalau mau menabrak aturan. Pertanyaannya aturan mana yang saya tabrak? Wewenang itu sudah diberikan oleh PP, tapi karena gagal paham, maka menyebut saya otoriter karena seolah-olah saya pemegang wewenang dan tidak memberikan kepada mereka.
IT: Terlepas dari diksi otoriter yang mereka gunakan, tapi apakah selama ini Pak Ketua mengabaikan para Wakil Ketua dalam proses kepemimpinan DPRD?
JOB : Silahkan periksa risalah rapat pembahasan APBD 2020. Bukankah Wakil Ketua I yang memimpin dari awal sampai selesai? Hari ini mereka 17 orang berdiri gagah seolah suci dan menuduh saya otoriter, lalu kalau mereka buat Rapat Paripurna pada tanggal 11 Mei dalam rangka membuat mosi tidak percaya kepada saya dan dipimpin oleh Wakil Ketua tanpa diagendakan oleh Pimpinan melalui rapat itu mau saya sebut apa? Saya masih waras, jadi tidak mungkin saya menyebut mereka otoriter walaupun perbuatannya menabrak aturan, “sewenang-wenang” dan “merasa berkuasa sendiri”.
IT: Wah… anak milenial bilang JELSKI alias Jelas Sekali tuh Pak Ketua. Sekarang tentang perbuatan Pak Ketua yang katanya tidak menyenangkan dan melanggar peraturan perundang-undangan. Apa ada begitu Pak Ketua?”
JOB : Tanya saja kepada mereka, kapan dan dimana saya melakukan perbuatan tidak menyenangkan dan melanggar peraturan perundang-undangan? Mengapa tidak dilaporkan ke Badan Kehormatan (BK) DPRD untuk diproses? Sederhana bro… kalau saya terindikasi sedikit saja melanggar Undang-Undang, maka pasti diproses oleh aparat penegak hukum, tidak perlu pake mosi tidak percaya itu!”
IT: Mereka mengatakan Pak Ketua telah melakukan sehingga beberapa kali Fraksi-Fraksi tidak hadir atau walk out dari Paripurna, bahkan ada yang mengusir dan melempar mic kepada Pak Ketua saat memimpin sidang DPRD
JOB : Begini… lembaga DPRD KKT ini terdiri dari banyak Anggota dengan beragam latar belakang dan kepentingan politik, sehingga taktik dan strategi untuk memperjuangkan kepentingan politik berbeda-beda pula. Ada yang pakai walk out, tidak hadiri Paripurna, mengusir sesama rekan atau kadang melempar mic. Motivasinya beragam, bisa untuk disebut vocal atau ingin mencari perhatian. Itu dinamika yang biasa di DPRD sebagai lembaga politik. Yang memalukan itu adalah tindakan mengusir dan melempar mic yang semestinya melanggar Kode Etik, tetapi dianggap benar lalu dibanggakan. Padahal, mestinya diproses dan dikenakan sanksi etik. Tetapi karena sifat manusiawi dan semangat kebersamaan, maka acapkali persoalan tersebut diselesaikan dengan secara kekeluargaan dan budaya hidup orang Tanimbar”.
IT: Pak Ketua disebut juga tidak mampu memperjuangkan kepentingan rakyat yang disampaikan oleh para Anggota DPRD yang merupakan Wakil Rakyat, yaitu tidak mengawal Pokir-Pokir (Pokok Pikiran) Anggota DPRD yang merupakan amanat Undang-Undang bahkan meminta masing-masing Anggota DPRD untuk mengawal sendiri Pokir-Pokir tersebut pada OPD-OPD hingga ke Bupati selaku Kepala Daerah”.
JOB : Kalau yang ini saya ibaratkan dua kali, pertama ‘mau balaga pake jas tapi seng tau ikat dasi’, kedua ‘menelanjangi diri sendiri ditengah jalan poros Saumlaki-Larat.’ Lihat dan jiwai itu Pasal 33 PP 12/2018. Disitu tidak ada Tugas dan Wewenang Pimpinan DPRD untuk mengawal Pokir Anggota DPRD. Artinya, memperjuangkan Pokir itu sebatas tanggungjawab moril, bukan Tugas dan Wewenang Pimpinan DPRD yang jika tidak dilaksanakan maka dapat dikenakan sanksi etik maupun sanksi hukum. Jadi keliru kalau mengukur kemampuan memperjuangkan kepentingan rakyat pakai indikator Pokir. Tapi, sebagai tanggungjawab moril, sejauh ini saya telah memperjuangkan semua Pokir Anggota DPRD KKT yang rasional, kecuali Pokir Sdr. Erens Y. Feninlambir dari Fraksi Berkarya. Itu pun sudah ada titik terang untuk diakomodir dalam mekanisme APBD Perubahan. Terlepas dari itu, luruskan dulu cara berpikirnya ini, jangan soal Pokir seolah menjadi kewajiban eksekutif. Padahal, tidak semua Pokir itu bisa diakomodir karena bisa saja tidak sesuai dengan arah dan kebijakan Pembangunan Daerah serta dukungan ruang fiskal. Dan yang penting diingat adalah soal Pokir ini rawan politisasi dan sangat beresiko bagi kita dari aspek pembiayaan dan pelaksanaannya. Itulah mengapa saya sebut dengan ‘menelanjangi diri sendiri ditengah jalan Poros Saumlaki-Larat’. Malu-maluin saja…”
IT: Kami dengar didalam mosi tidak percaya itu juga disebutkan bahwa Pimpinan dan seluruh Anggota DPRD KKT menyatakan sikap untuk tidak akan membahas agenda-agenda strategis daerah jika dipimpin oleh Sdr. Jaflaun Batlayeri, Betul ya Pak?
JOB : Itu lebih konyol lagi. Meng-klaim sikap semua Pimpinan dan Anggota DPRD, padahal hanya sekelompok oknum Anggota DPRD yang sesat jalan berpikirnya. Paling tidak saya sendiri bukan bagian dari mereka… ‘kan begitu… Aneh memang, disatu sisi menuduh saya diktator, tapi mereka meng-klaim dan memaksakan kehendak karena jumlah mayoritas. Itu justru mengarah ke praktek “diktator mayoritas” dan mengebiri nilai-nilai demokrasi. Mestinya mereka dapat meletakkan kepentingan rakyat diatas kepentingan pribadi, partai politik atau kelompoknya. Bukan sebaliknya mengorbankan kepentingan daerah dan nasib rakyat dengan tidak mau membahas agenda strategis daerah. Tulis besar-besar supaya mereka tahu ya… kalau mau habisi saya Jaflaun Batlayeri, SH., jangan korbankan nasib dan kepentingan rakyat! Saya telah pertaruhkan seluruh hidup saya ini untuk membela nasib dan kepentingan rakyat Tanimbar!
IT: Baik Pak Ketua… rasanya rakyat bisa pahami. Sekarang tentang tuduhan bahwa Pak Ketua yang bertindak sendiri mengambil keputusan mengatasnamakan lembaga DPRD, misalnya bertindak seperti kepala lembaga sehingga semena-mena mengintervensi tugas Sekretaris DPRD (Sekwan) serta mengatur seluruh operasional kepegawaian dan administrasi lembaga, dan juga mengeluarkan surat pergantian Sekwan tanpa berkoordinasi dengan Pimpinan lainnya.
JOB : Sekwan menurut Tatib DPRD adalah Pejabat PNS yang memimpin Sekretariat DPRD KKT. Sedangkan Sekretariat DPRD adalah perangkat daerah yang merupakan unsur pembantu DPRD KKT dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya. Jadi, fungsi Sekwan sifatnya memberikan dukungan/bantuan kepada DPRD dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya, supaya dapat berjalan optimal. Itu sebabnya hubungan kerja bersifat koordinatif, sehingga Pimpinan DPRD tidak dapat mengeluarkan surat pergantian Sekretaris DPRD, hanya sebatas rekomendasi. Jadi kalau mau mengganti Sekwan, Pimpinan DPRD bisa mengeluarkan rekomendasi. Masalahnya, pertama: adakah alasan mengganti Sekwan? kedua: apakah prosedurnya sesuai? Tentang alasan mengganti, jelas ada, ini tentang kinerja, bukan suka atau tidak suka. Tapi rasanya tidak etis saya beberkan alasannya disini, dia itu kakak saya… masak mau tembak burung saja harus pakai meriam? Kalau prosedurnya, tanyakan saja Pimpinan yang lain. Yang pasti kita sepakat mengajukan surat usulan pergantian. Itu telah dilakukan secara baik-baik, menghindari kegaduhan guna menjaga reputasi Sekwan. Wakil Ketua I memberi persetujuan langsung, sedangkan Wakil Ketua II yang berada di Ambon memberi persetujuan lisan. Saat itu tidak ada masalah… sekarang kok dipermasalahkan… aneh juga ya…
IT: Apakah itu berarti mereka tidak konsisten?
JOB : Bukan saja tidak konsisten, tetapi mengingkari perbuatan. Kalau saya saja bisa dikibulin, bagaimana dengan rakyat yang mereka wakili di kampung-kampung yang jauh itu?”
IT: Kalau soal mengintervensi kerja Sekwan?
JOB : Tidak ada itu… yang terjadi adalah bila dalam kondisi emergency, saya biasanya by pass ke staf, daripada pekerjaan tersendat dan rakyat dikorbankan. Ingat! hanya kalau emergency. Jadi ini soal kinerja semata. Tapi sudahlah, tidak mungkin saya beberkan satu per satu, rasanya kurang baik. Masak begitu dibilang saya mengatur seluruh operasional kepegawaian dan administrasi lembaga. Berlebihan itu. Bukannya bersyukur karena saya bekerja ekstra demi kelancaran tugas DPRD, malah balik mencela. Memangnya saya tidak punya kerjaan lalu mau turun urus seluruh administrasi di DPRD? Atau saya menjadi juru bayar seluruh transaksi keuangan di DPRD? Berarti semua staf di DPRD nganggur dong? Memang bisa ya?”
IT: Katanya juga masih banyak lagi tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Pak Ketua yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah dan Tata Tertib DPRD.
JOB : Lembaga DPRD merupakan lembaga politik sehingga setiap tindakan Anggota DPRD termasuk membuat mosi tidak percaya ini merupakan ekspresi politik. Meski demikian, substansi yang disampaikan mesti jelas, bukan “asal tuduh” tanpa menjelaskan tindakan mana yang bertentangan dengan PP dan Tata Tertib DPRD. Ini penting, supaya DPRD bukan menjadi medan pertarungan fitnah, tetapi medan pertarungan ide dan gagasan untuk kemajuan daerah dan kesejahteraan rakyat”.
IT: Mendengar penjelasan Pak Ketua, sementara bisa disimpulkan mereka tidak punya dasar argumentasi yang kuat
JOB : Benar, pertama cacat substansi, karena semua tuduhan tidak sesuai fakta; kedua, cacat prosedur, karena disaat salah satu Pimpinan DPRD memimpin rapat paripurna DPRD pada tanggal 11 Mei 2021 tanpa sepengetahuan saya, maka saat itulah mereka telah melanggar ketentuan PP 12/2018 Pasal 37 tentang sifat kolektif-kolegial Pimpinan DPRD, sehingga baik rapatnya maupun hasil-hasilnya illegal; ketiga, cacat administrasi, karena menuangkan hasil paripurna kedalam surat dengan Kop DPRD KKT tanpa memiliki nomor, lampiran, perihal, stempel, termasuk memuat tembusan yang tidak sesuai dengan kaidah dan proses administrasi di DPRD. Maka itu, tindakan mereka telah melanggar prinsip-prinsip hukum administrasi sehingga cacat secara administratif (mal administrasi). Kecuali itu, menyampaikan tembusan surat ke Pimpinan Parpol merupakan tindakan yang bertentangan dengan Tata Beracara di BK DPRD KKT. Sudah begitu, oknum Pimpinan dan Anggota Badan Kehormatan (BK) terlibat lagi. Kacau ini lembaga…
IT: Kacau bagaimana Pak?
JOB : Bayangkan saja, BK itu idealnya dijabat oleh orang-orang berintegritas tinggi sehingga bisa menghindari perilaku tercela dan bisa menjadi teladan bagi sesama Anggota DPRD. Tetapi di DPRD KKT, justru 2 oknum Anggota BK turut serta melahirkan surat mosi tidak percaya dan menjadi pihak Pelapor di BK yang jelas-jelas cacat prosedur dan cacat administrasi. Bagaimana bisa Anggota BK yang mestinya menjadi Hakim, kini menjadi pihak Pelapor sekaligus Hakim. Bagaimana para Hakim BK bisa menghindari conflict of interest padahal mereka sendiri bertindak sebagai Pihak Pelapor? Terlalu naïf… mereka telah menciderai marwah BK sehingga secara etik tidak pada tempatnya mereka menjadi Anggota BK dan/atau Hakim BK yang akan mengadili perkara ini.
IT: Jadi kesimpulan Pak Ketua tentang subtansi persoalan ini?
JOB : Sederhana… semua tuduhan tidak jelas, penuh prasangka dan asumsi, terkesan diada-adakan, serta tidak berdasarkan pada fakta hukum. Dengan kata lain mereka menfitnah saya dengan cara yang sangat keji. Saya menduga bahwa motivasinya semata-mata aspek politik, bukan aspek kinerja. Mereka patut diduga bersekongkol untuk menjatuhkan kredibilitas, harkat, martabat, kehormatan dan harga diri saya secara pribadi dan sebagai Ketua DPRD KKT dimata rakyat, bukan untuk memperbaiki kinerja lembaga DPRD KKT atau membela kepentingan rakyat.
IT: Kalau begitu apa langkah Pak Ketua selanjutnya?”
JOB : Pemberitaan tersebut bukan saja mencederai saya, tetapi juga mencederai nurani anak-istri saya. Maka demi menjaga kredibilitas, harkat, martabat, kehormatan dan harga diri saya secara pribadi maupun sebagai Ketua DPRD, maka saya bersikap untuk tidak dapat menerima perbuatan mereka. Saya telah meminta BK DPRD untuk memproses mereka sesuai Tatib karena patut diduga telah melanggar Kode Etik sebagai Pimpinan dan Anggota DPRD. Saya juga memastikan untuk meneruskan permasalahan ini ke ranah hukum, berkaitan dengan tuduhan yang mengarah dan mengandung unsur pidana kepada pribadi saya sebagai warga negara yang dilindungi hukum positif berdasarkan ketentuan KUHP dan UU ITE.
IT: Tidakkah Pak Ketua berpikir untuk menyelesaikan secara kekeluargaan?”
JOB : Coba tanyakan balik ke mereka: adakah yang sempat berpikir bahwa saya ini sodara mereka sehingga kalau ada masalah bisa diselesaikan secara kekeluargaan? Dalam iman saya sudah memaafkan mereka, tetapi saya juga butuh justifikasi publik bahwa dalam hal ini saya di fitnah. Jangan menjadi beban untuk anak-istri saya kelak.
IT: Terakhir, adakah pesan Pak Ketua kepada rakyat KKT?
JOB : Tanimbar punya tantangan yang berat ke depan. Butuh wakil rakyat yang berkomitmen tinggi untuk rakyat, bukan bermain politik dengan jurus mabuk. Buang-buang energi, padahal rakyat lagi butuh kerja mereka. Karena itu, kedepan rakyat KKT mesti hati-hati memilih Anggota DPRD. Jangan tertipu dengan bujuk-rayunya. Lihat jauh kedalam hati-hati mereka, apakah benar mau bekerja untuk rakyat atau tidak. Pastikan juga 4 hal ini: pertama, mereka percaya Tuhan, bukan percaya tahyul; kedua, mereka punya ‘layar’ sendiri dan tahu ‘ilmu berlayar’ di DPRD; ketiga, ‘tahu ikat dasi sendiri kalau mau pake jas’; dan keempat, jangan ‘seenak perut’ pamer tali poro ke ruang publik. Itu semua untuk memastikan agar kelak mereka tidak ‘tersesat’ selama berada di DPRD. (it-03)