Daerah Maluku 

Ketua DPRD Maluku Dinilai Ompong Perjuangkan Aspirasi Rakyat

Ambon, indonesiatimur.co – Ketua DPRD Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT), Jaflaun Batlayeri, merasa kecewa dengan pernyataan Ketua DPRD Maluku, Lucky Wattimury, di media, usai pertemuan dengan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT) dan DPRD KKT dalam memperjuangkan pengelolaan PI 10.

Saat diwawancara Indonesia Timur,co, pada Jumat (26/03/2021), Batlayeri menegaskan tentang posisi dan peran DPRD KKT memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat Tanimbar

Menurutnya, DPRD Kabupaten Kepulauan Tanimbar memiliki 3 fungsi pokok yang dijamin oleh
Undang-Undang, yaitu legislasi, budgeting dan pengawasan
“DPRD KKT dalam implementasi 3 fungsi tersebut, senantiasa berkoordinasi dengan pihak eksekutif dalam rangka memastikan bahwa arah pembangunan daerah benar-benar sesuai dengan aspirasi dan kepentingan rakyat
guna mewujudkan rakyat Tanimbar yang sejahtera,” ujarnya.

Berkenaan dengan Proyek Onshore LNG Blok Masela yang akan dilaksanakan di
KKT, dia mengatakan DPRD secara serius ingin memastikan bahwa kehadiran Industri Migas Blok Masela harus memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi daerah, dan
sebaliknya dampak negatif yang ditimbulkan dapat di minimalisir. “Sehubungan
dengan itu, maka manfaat secara finansial yang berpotensi diterima oleh KKT
adalah Dana Bagi Hasil (DBH), Participating Interest 10%, dan Dana
CSR. Dengan demikian, kecuali PI 10%, DBH dan CSR juga menjadi perhatian dan
karena itu terus dikawal dan diperjuangkan oleh DPRD KKT,”terangnya.

Batlayeri menjelaskan, bahwa nilai yang diusung dalam perjuangan ini adalah rasa atau nilai keadilan, yang mesti diterima oleh Tanimbar sebagai daerah/lokasi pengembangan Onshore LNG Blok Masela sesuai dengan Keputusan Presiden.

Terkait perkembangan perjuangan PI 10% Blok Masela dia mengatakan, problem PI 10% berawal dari surat Pemprov Maluku yang menyatakan bahwa
permintaan KKT untuk ikut serta dalam pengelolaan PI 10% sudah tidak
relevan.

“Padahal, dasar argumentasi Pemprov sangat lemah karena berpijak pada tafsiran yang keliru atas Permen ESDM 37/2016 tentang “Ketentuan Penawaran PI
10% Pada Wilayah Kerja Migas”. Pemprov menggunakan dasar argumentasi
berpijak pada ketentuan Pasal 17 dengan menafsirkan bahwa BUMD yang dimaksud
adalah BUMD Provinsi.
Bunyi Pasal 17, “Dengan mempertimbangkan kepentingan nasional, Menteri
dapat menetapkan kebijakan PI 10% untuk lapangan yang pertama kali akan
diproduksi yang berada di perairan lepas pantai di atas 12 mil laut pada suatu
Wilayah Kerja kepada BUMD atau BUMN”.
Bunyi Pasal 17 ini tidak dapat ditafsirkan BUMD Provinsi atau BUMD
Kabupaten/Kota. Atas dasar itu, bagi Tanimbar disini terdapat ruang untuk duduk
bersama dan berbicara tentang kepentingan seluruh rakyat Maluku yang mesti
diakomodir, termasuk Tanimbar sebagai bagian integral Maluku yang menjadi lokasi
pengembangan Blok Masela,”ungkapnya.

Atas surat Pemprov Maluku tersebut, Batlayeri mengatakan, terjadi keresahan yang luas di tengah-tengah
masyarakat. Maka itu sebagai Wakil Rakyat Tanimbar, dirinya merasa bertanggungjawab untuk mengagregasi dan mengartikulasikan apa yang menjadi
keresahan dan kehendak rakyat tersebut untuk diperjuangkan.
“Setelah melakukan Rapat Dengar Pendapat dengan seluruh stakeholder di Tanimbar,
kami memutuskan untuk melanjutkan 2 aspirasi rakyat Tanimbar ke level Provinsi
dan Pusat, yaitu menetapkan Tanimbar sebagai “Daerah Penghasil/Terdampak”.
Dasarnya adalah skema pengembangan onshore LNG menyebabkan pengelolaan
berada di wilayah daratan Pulau Yamdena sehingga berdampak langsung
terhadap kehidupan rakyat Tanimbar,”jelasnya.

Selain itu, aspirasi lainnya adalah ikut menyertakan Tanimbar dalam pengelolaan PI 10%, dengan
memberikan porsi 6% kepada Tanimbar.
Dikatakannya, dasarnya adalah wilayah administrasi Tanimbar menjadi lokasi pengembangan
LNG berdasarkan skema onshore, sehingga posisi perlakuannya dapat
dianalogikan sebagai daerah penghasil dan karena itu memiliki hak atas PI 10%.
“Nilai PI 6% merujuk pada skema pembagian DBH sebagaimana tercantum dalam
UU Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah,”bebernya.

Sebagai bagian integral dari Provinsi Maluku, Batlayeri mengatakan kurang etis kalau mereka langsung
mengambil langkah melewati dalam menyampaikan aspirasi rakyat ke Pusat.
“Karena itu, pertama-tama kami melalui DPRD Provinsi dan Pemerintah Provinsi.
-Sayangnya, diluar dugaan, kami mendapat sambutan yang kurang bersahabat setelah
bertemu dengan DPRD Provinsi. Hal itu sekurang-kurangnya tercermin dari sikap,
pendapat atau pernyataan dan langkah-langkah sebagaimana yang disampaikan oleh
Ketua DPRD Provinsi Maluku. Padahal, Pemerintah Provinsi saja melalui Sekda
ketika menerima aspirasi kami justru membuka ruang komunikasi yang sangat baik dan berjanji akan mengkomunikasikannya dengan Bapak Gubernur,”tandasnya.

Atas sikap ketua DPRD Maluku inilah, DPRD KKT dan Pemkab KKT langsung menyampaikan aspirasi ke Kemenko Marinves dan
Kementerian ESDM, Komisi VII DPR RI, dan Kantor Staf Presiden (KSP).
“Tentang pernyataan Ketua DPRD Maluku yang menyatakan bahwa DPRD Maluku akan mengkaji dan mengambil langkah sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Ternyata, DPRD Maluku bukan mengkaji secara komprehensif dengan dasar argumentasi yang kuat berbasis akademis, justru berkoordinasi dengan Kepala Dinas ESDM, Karo Hukum dan Dirut Maluku Energi Abadi. Pertanyaannya
adalah DPRD itu wakil rakyat atau wakil pemerintah? Karena itu, bagi kami
ini adalah tindakan salah kaprah dan tidak pada tempatnya,”tegasnya.

Awalnya Batlayeri menduga DPRD Maluku akan mengundang minimal Pakar Hukum dari Universitas Pattimura sesuai dengan janji Ketua DPRD Maluku saat itu, guna memberi perspektif dan argumentasi akademik yang kuat dan ilmiah. “Ketua DPRD Maluku menyatakan bahwa permintaan DPRD KKT untuk diusulkan
menjadi daerah penghasil dan/atau daerah terdampak adalah sesuatu yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan karena tidak ada regulasi yang
mengatur tentang hal itu.
Bagi rakyat Tanimbar, pernyataan ini telah menggiring opini publik seolah
perjuangan dan aspirasi rakyat Tanimbar adalah perjuangan dan aspirasi yang
menabrak aturan perundang-undangan. Padahal sama sekali tidak!
Perjuangan untuk mendapat pengakuan sebagai daerah penghasil dan
terdampak berpijak dari Keputusan Presiden tentang skema pengembangan
onshore yang akan berlokasi di daratan Pulau Yamdena, sehingga paradigma
Industri Migas bukan saja offshore sebagaimana yang kita kenal sejauh ini, tapi
juga paradigma onshore. Dan itu artinya Tanimbar akan menjadi daerah
penghasil dan sekaligus terdampak. Persoalannya belum ditetapkan saja oleh
Menteri ESDM. Karena itu kami menyampaikan aspirasi ini untuk menjadi
bagian perjuangan bersama dengan DPRD Maluku agar dapat ditetapkan oleh
Menteri ESDM. Masak itu dianggap menabrak aturan perundang-undangan?”tanyanya.

Demikian halnya dengan perjuangan PI 10%. Ketua DPRD menerangkan, yang di maksudkan pada pasal 17 Permen ESDM itu adalah karena terdapat ruang
tafsir yang berbeda, apakah BUMD Provinsi atau BUMD Kabupaten/Kota,
atau bersama-sama. Karena itu, Tanimbar mengajukan diri menjadi bagian
untuk ikut serta dalam pengelolaan PI 10%. Hal ini bukan tanpa dasar, tapi
memiliki pijakan yuridis dan sosiologis yang kuat.

“Pertama, UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah” menjamin frasa “Daerah
Penghasil” dalam urusan alokasi anggaran pembangunan yang bersumber dari
pengelolaan SDA Migas. Sehingga Tanimbar butuh penetapan Pemerintah
melalui Kementerian ESDM bahwa Tanimbar adalah “daerah penghasil” yang
merujuk pada skema pengembangan Blok Masela secara onshore.
Kedua, secara sosiologis orang Tanimbar dengan tulus telah menyerahkan
tanah-tanahnya untuk proyek pengembangan Blok Masela dan siap untuk
menerima semua beban resiko akibat dampak yang ditimbulkan baik dari
aspek sosial-ekonomi, sosial-budaya maupun aspek lingkungan. Tanah bagi
orang Tanimbar adalah “saudara perempuan”, artinya dengan menyerahkan
tanah berarti menyerahkan saudara perempuan. Masakan dengan meminta
bagian untuk berpartisipasi dalam pengelolaan PI 10% karena telah
menyerahkan saudara perempuan dianggap menabrak aturan? Kita di Maluku
ini sangat kental dengan adat dan budaya, mau lamar anak
perempuan itu mesti bawa harta,”katanya.

Dia justru khawatir Ketua DPRD Maluku
sudah lupa tentang adat dan budaya orang Maluku.
” Kesimpulan saya, sikap dan pernyataan Ketua DPRD Maluku dalam menyikapi
aspirasi rakyat Tanimbar adalah keliru, tidak berbasis akademis, dan sangat
dangkal analisisnya. Kecuali itu, Ketua DPRD Maluku tidak mampu
menempatkan dirinya sebagai Wakil Rakyat dalam memperjuangkan aspirasi
dan kepentingan rakyatnya sendiri sehingga terkesan “OMPONG”,tegasnya.

Tentang sikap Menko Marinves, Luhut Panjaitan dan Komisi VII DPR RI, Batlayeri mengatakan, Kemenko Maritim dan Investasi sangat mengapresiasi perjuangan rakyat KKT sebagai
daerah penghasil/terdampak, serta mendapat bagian dalam pengelolaan PI 10% Blok
Masela. “Kemenko Marinves berkomitmen untuk menjembatani kepentingan rakyat
Tanimbar tentang hal tersebut dengan telah memfasilitasi pertemuan secara virtual,
yang dihadiri oleh Menteri ESDM, SKK Migas, pihak Inpex, termasuk Gubernur
Maluku bersama Bupati dan Ketua DPRD KKT. Hasil dari pertemuan tersebut adalah
memberikan alokasi waktu selama seminggu kepada Kementerian teknis untuk
merevisi Permen ESDM 37/2016 guna mengakomodir kepentingan daerah-daerah
onshore, termasuk Tanimbar salah satunya. Jadi ini bukan cuma persoalan Tanimbar,
tapi juga daerah-daerah lain yang dikembangkan dengan skema onshore. Dan per hari ini Jumat (26/03/2021), Kemenko Marinves telah mengambil alih untuk langsung mendistribusikan
alokasi PI 10% secara arif dan bijaksana. Itu sebabnya kami mengucapkan banyak
terima kasih atas dukungan dan perhatian dari Bapak Luhut Binsar Panjaitan selaku
Menko Marinves atas perhatian dan apresiasinya bagi rakyat Tanimbar. Atas hal ini, saran saya kepada Ketua DPRD Maluku agar jangan panik, sebaiknya belajar untuk
bersabar menunggu keputusan Pemerintah ,”ucapnya.

Dikatakannya, dukungan juga didapat dari  Komisi VII DPR RI yang membidangi ESDM.
Komisi VII telah memastikan untuk menindalanjuti dan memperjuangkan
aspirasi rakyat Tanimbar tentang penetapan Tanimbar sebagai Daerah Penghasil agar
supaya mendapat bagian dalam distribusi Dana Bagi Hasil (DBH) berdasarkan UU
Nomor 33/2004. “Atas apresiasi Komisi VII DPR RI, kami juga mengucapkan banyak
terima kasih, khususnya kepada Bapak Bambang Wuryanto dan Ibu Mercy Christy
Barends sebagai Anggota Komisi VII DPR RI, disertai doa kiranya keringat
perjuangannya selalu diberkati oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Kami apresiasi karena
itulah sikap yang tepat sebagai wakil rakyat yang sangat responsif
memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat, bukan sebaliknya berjanji
mengkaji, tetapi bertindak seolah-olah menjadi juru bicara pihak eksekutif,”jelasnya.

Ketika ditanya tentang Persiapan Tanimbar mengelola PI 10% , Batlayeri menerangkan bahwa Tanimbar telah siap mengelola PI 10%, hal ini ditunjukkan melalui pembentukkan Perda tentang BUMD Tanimbar Energi sejak tahun 2012. ” Bukan
baru kemarin atau setelah menerima Surat SKK Migas tentang PI 10%. Jadi
persiapannya benar-benar sudah matang, termasuk pembentukkan PT. Tanimbar Energi disertai pengisian manajemen dan
operasionalnya guna mempersiapkan skema pengelolaan PI 10%.
Kami juga sedang mendorong Pemerintah Kabupaten untuk merumuskan “Peta Jalan”
sebagai panduan bagi PT. Tanimbar Energi dalam mengelola PI 10% dan
memastikan bahwa pengelolaan PI 10% itu benar-benar profesional dan
akuntabel sehingga berkontribusi secara adil dan maksimal demi sebesar-
besarnya kemakmuran daerah dan kesejahteraan rakyat Tanimbar,”terangnya.(it-02)

Bagikan artikel ini

Related posts

Komentar anda:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.