RABIES DI KOTA AMBON: KEKEBALAN ANJING MELEMAH, NYAWA MANUSIA MELAYANG !!!
Oleh : Astri Dwyanti Tagueha
*Awardee LPDP Afirmasi 2021
**Mahasiswa S3, Sapienza University of Rome
***Staf Pengajar Jurusan Peternakan Universitas Pattimura
“Waah”… Begitulah respon saya ketika membaca pesan di WAG tentang edaran Walikota Ambon terkait waspada rabies sehubungan meninggalnya 6 orang karena gigitan anjing. Waktu menunjukkan pukul 15.00 Jumat 25 April 2025 waktu Italia, dan pesan WAG tersebut seketika mengalihkan perhatian saya dari berita meninggalnya Pope Fransiscus. Saya pun membatin, masalah ini sangat serius. Betapa tidak, sejatinya rabies adalah warisan ancaman kuno sejak zaman Hippocrates (425 SM) yang terus mempertahankan eksistensinya di tengah peradaban modern.
Rabies adalah penyakit yang ditularkan oleh lyssa virus melalui gigitan anjing, kucing, monyet, kelelawar, dan beberapa karnivora liar. Di Indonesia ≥98% kasus rabies pada manusia disebabkan oleh gigitan anjing. Tahun 2003 menjadi awal penyebaran rabies di Kota Ambon yang berujung pada kematian 21 orang dan penetapan kasus luar biasa (KLB). Hingga kini laporan gigitan hewan penular rabies (GHPR) berfluktuasi setiap tahunnya. Que dkk (2025) dalam studinya melaporkan GHPR selama 2020-2023 mengalami peningkatan 52%, bahkan data di tahun 2023 mencapai titik tertinggi masa KLB, 1300-an kasus gigitan.
Gejala umum hewan rabies adalah sangat agresif, suka menggigit, dan keluar air liur berlebihan (hipersalivasi). Gejala lain yang perlu diwaspadai adalah hewan menjadi lebih pasif dan pendiam, menjauh diri dari pemilik, sulit menelan, hipersalivasi, namun agresif jika diprovokasi. Anjing dan kucing akan mati ± 2 minggu setelah menunjukkan gejala. Pada manusia masa inkubasi bervariasi antara 2-8 minggu tergantung lokasi gigitan, kedalaman dan jumlah luka, paparan virus, status imun, dan penanganan luka pasca gigitan/cakaran. Beberapa mamalia seperti sapi, kambing, kerbau, atau kuda juga rentan terhadap rabies, namun tidak bertindak sebagai penular tetapi dead-end host atau titik penularan terakhir. Penularan rabies antar manusia sangat jarang terjadi, tercatat hanya 3 kasus akibat transplantasi kornea dan ginjal serta luka yang terkontaminasi darah penderita rabies.
Vaksinasi rutin adalah langkah efektif pencegahan rabies pada hewan. Organisasi kesehatan dunia dan organisasi kesehatan hewan dunia menetapkan cakupan vaksinasi 70% dari populasi hewan penular rabies (HPR) adalah batas minimal perlindungan kekebalan kelompok yang efektif untuk mencegah penularan virus rabies. Angka ini bukan sekedar hasil permodelan matematika atau temuan empiris; secara biologi, 70% vaksinasi mampu memutus rantai penularan karena virus kesulitan menemukan inang baru. Tingginya vaksinasi juga berfungsi sebagai perisai bagi kawanan hewan dengan imunitas lemah. Pencapaian ini berdampak langsung pada penurunan GHPR dan kematian manusia.
Namun, penanganan rabies di Kota Ambon tidak semudah yang dibayangkan. Kondisi geografis, sistem pemeliharaan anjing, kebiasaan, dan sikap masyarakat menjadi kompleksitas tersendiri. Topografi yang bervariasi turut menambah beban kerja bagi para petugas vaksinasi dan dokter hewan yang melayani vaksinasi gratis dari rumah ke rumah. Selain itu, umumnya anjing dilepaskan berkeliaran dan menyulitkan pendataan. Rendahnya pemahaman masyarakat yang berujung pada penolakan juga menjadi kendala tersendiri. Masih ada masyarakat yang berpendapat vaksinasi tidak penting karena anjing peliharaan pada akhirnya akan dikonsumsi atau akan lemah dan mati setelah divaksin. Problem lain adalah estimasi populasi anjing dan keterbatasan stok vaksin. Jika estimasi populasi anjing menurut Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) Kota Ambon sekitar ≥ 10.000 ekor sementara stok vaksin yang tersedia 2.000 dosis di tahun 2024, cakupan vaksinasi 70% tidak mungkin tercapai.
Perlindungan kekebalan kelompok di tingkat HPR bukanlah perkara gampang, mengingat populasi anjing selalu dinamis, lalu lintas anjing dari dan ke kota Ambon, pemeliharaan secara ekstensif, dan kebiasaan mengonsumsi daging anjing. Langkah mengetahui efektivitas pelaksanaan vaksinasi adalah evaluasi titer antibodi pada populasi HPR. Tindakan ini lebih akurat dibandingkan hanya berpedoman pada ratio HPR terdata dan jumlah tervaksin.
Efektivitas vaksinasi ditentukan oleh berbagai faktor, terutama penanganan rantai dingin vaksin, kondisi nutrisi dan stress pada anjing. Ketika vaksin terpapar suhu tinggi, struktur protein antigenik menjadi rusak sehingga kemampuannya untuk memicu respon imun melemah atau hilang. Malnutrisi memperparah keadaan dengan mengurangi jumlah dan fungsi sel dendritic, sel kunci memulai interaksi antigen-antibodi spesifik, serta menurunkan produksi sitokin penting IL-12p70 dan IFN-gamma yang penting untuk aktivasi dan proliferasi T-cell. Defisiensi protein dan micronutrient juga menurunkan integritas imunitas selular, yang penting untuk membentuk perlindungan jangka panjang melalui sel memori dan antibodi setelah vaksinasi. Lebih lanjut, stress mengaktifkan aksis hipotalamus-hipofisis adrenal dan aksis simpatis adrenal medulla yang menyebabkan pelepasan hormon stres kortisol, yang pada akhirnya mengurangi produksi antibodi. Faktor resiko ini semakin besar pada anjing liar atau anjing peliharaan yang dibiarkan berkeliaran, terutama karena saat vaksinasi, pemilik seringkali kesulitan menjinakkan hewan, membuat vaksin terpapar suhu lingkungan, diperparah kurangnya perhatian terhadap pakan serta stress sebelum dan sesudah vaksinasi. Dalam konteks kekebalan kelompok, faktor ini menyebabkan kawanan anjing yang divaksin tidak kebal dan tetap rentan terinfeksi virus.
Pengukuran titer antibodi pascavaksinasi menjadi kunci untuk mengetahui persentase populasi HPR yang terlindungi. Data seropositive ini memberi gambaran efektivitas vaksinasi sekaligus menjadi dasar dalam pengulangan vaksinasi (booster). Misalnya satu bulan pascavaksinasi, tercatat 75% anjing menunjukan respon imun memadai. Namun, pada bulan ke empat angka perlindungan turun ke 48%, ini alarm bahwa booster tidak bisa ditunda. Lebih jauh, data ini menjadi fondasi pemetaan ancaman jika tidak ada intervensi. Que dkk (2025) melaporkan lonjakan kasus rabies tertinggi dalam tiga tahun terakhir pada Kecamatan Sirimau (761-1155 kasus) dan Nusaniwe (1155-1256 kasus). INI BUKAN KEBETULAN. Empat belas tahun lalu, saya telah memproyeksikan bahwa kedua tersebut beresiko tinggi karena rendahnya titer kawanan antibodi anjing di wilayah tersebut. Di tahun yang sama saya bahkan merekomendasikan pemberian vaksin 2x setahun karena perlindungan vaksinasi hanya bertahan enam bulan. Kini, proyeksi itu terbukti.
Pemerintah daerah seharusnya lebih bijak dalam menetapkan anggaran penanggulan rabies. Jika selama ini hanya ada alokasi untuk vaksinasi massal HPR, ke depannya DPRD Kota Ambon dan dinas terkait perlu menganggarkan dana khusus untuk evaluasi pascavaksinasi. Saya sependapat dengan pernyataan Kadis Kesehatan Kota Ambon bahwa pengendalian rabies dimulai dari hulu, karena itu upaya peningkatan kekebalan populasi HPR di Kota Ambon wajib menjadi perhatian bersama. Sebagai gambaran, pembiayaan penanganan satu orang suscept rabies setara dengan menvaksinasi 90 ekor anjing/kucing. Ini menunjukkan pencegahan lebih efisien daripada pengobatan. Sosialisasi bahaya rabies secara berkala juga mutlak diperlukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Jika kekebalan HPR dapat ditingkatkan secara konsisten, niscaya tidak ada nyawa melayang. (*)