Pungutan Retribusi Alat Pemadam Kebakaran “Liar” Laris Manis di Pasar Omele
Saumlaki. indonesiatimur.co – Pungutan retribusi alat pemadam kebakaran yang dilakukan oleh Seksie Pemadam Kebakaran, pada Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Kepulauan Tanimbar diduga liar. Bahkan hal ini sudah berlangsung lama dan terstruktur.
Sumber media ini menyebutkan, pemungut retribusi tidak pernah menyediakan serta melakukan pemeriksaan dan pengujian terhadap alat-alat pemadam kebakaran. Praktek ini jauh dari pengawasan semua pihak, termasuk dinas yang bertangungjawab serta juga sorotan DPRD Kabupaten Kepulauan Tanimbar.
“Wajib retribusi juga tidak pernah mendapatkan jaminan atas keselamatan dan keandalan sistem proteksi kebakaran pada bangunan atau gedung apabila sewaktu-waktu terjadi musibah kebakaran,” jelas sumber di internal Pemadam Kebakaran Pemda KKT, Minggu (18/04/2021).
Dengan demikian, diduga seksie Pemadam Kebakaran setempat menubruk Pasal 118 UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Dimana dijelaskan Objek Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf h (Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran) adalah pelayanan pemeriksaan dan/atau pengujian alat pemadam kebakaran, alat penanggulangan kebakaran, dan alat penyelamatan jiwa oleh Pemerintah Daerah terhadap alat-alat pemadam kebakaran, alat penanggulangan kebakaran, dan alat penyelamatan jiwa yang dimiliki dan/atau dipergunakan oleh masyarakat.
Sumber menjelaskan kalau Retribusi alat pemadam kebakaran merupakan kebijakan yang ditetapkan di wilayah kabupaten terhadap pemilik gedung atau pemilik usaha atas kepemilikan alat proteksi; fire hydrant, fire alarm, alat pemadam api, dan instrumen proteksi kebakaran lainnya.
Retribusi alat pemadam kebakaran ini diselenggarakan satu tahun sekali oleh pemerintah kabupaten kepada badan atau pribadi sebagai balas jasa yang disediakan pemerintah. Dari retribusi alat pemadam kebakaran akan disetorkan ke kas daerah untuk kepentingan bersama; seperti perbaikan jalan, pembangunan fasilitas umum, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan instrumen lainnya.
“Setahun biasanya ditagih Rp150 ribu per kios. Kalau di Pasar Omele, Sifnana kan ada sekitar 200-an kios. Pedagang sudah mengeluh tentang masalah ini. Mereka tidak keberatan untuk setor retrubusi bagi daerah, tetapi pihak damkar juga dituntut untuk harus sediakan alat damkar itu kan. Paling tidak adalah tabung dikasih, ini kan tidak tetapi minta orang untuk bayar,” tandasnya. (it-03)