Dr. Nasarudin Umar : Gubernur Tidak Wajib Hadir di Setiap Agenda DPRD
Ambon, indonesiatimur.co –
Pernyataan yang dilontarkan Ketua DPRD Provinsi Maluku, Benhur George Watubun, tentang hasil evaluasi 5 tahun kepemimpinan Gubernur Maluku, Irjen Pol. (Purn) Drs. Murad Ismail, yang menurutnya merupakan Gubernur yang paling malas hadiri Rapat Paripurna DPRD, mendapat tanggapan dari Wakil Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Ambon, Dr. Nasarudin Umar, S.H., M.H.
Untuk diketahui, pernyataan Benhur Watubun ini disampaikan dirinya di Gedung Wakil Rakyat Karang Panjang Ambon, Jumat, 1 Desember kemarin saat berakhirnya Rapat Paripurna DPRD Maluku dalam rangka Pengumuman Pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku periode masa bakti 2019-2024.
Menanggapi pernyataan Ketua DPRD Maluku, Wakil Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Ambon ini yang dihubungi media pada Sabtu (02/12/2023) melalui telepon seluler, katakan bahwa ‘Tidak diharuskan Gubernur Maluku untuk hadir dalam setiap agenda DPRD’.
Menurut Nasarudin, hal tersebut cukup beralasan lantaran pendelegasian atau penugasan Gubernur dapat diberikan kepada Sekretaris Daerah (Sekda) Maluku, sebagaimana hal tersebut diatur dalam Pasal 213 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menerangkan bahwa Sekretariat Daerah dipimpin oleh Sekda, dimana tugas dari seorang Sekda adalah membantu Kepala Daerah dalam hal ini Gubernur untuk menyusun kebijakan dan pengkoordinasian administrasi terhadap pelaksanaan tugas Perangkat Daerah serta pelayanan administrasi lainnya.
Dijelaskan Wakil Dekan ini, hal yang sama pula diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2018, tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Gubernur sebagai Pemerintah Pusat dalam Pasal 2 bahwa Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dibantu oleh Perangkat Gubrnur, dalam hal ini perangkat daerah provinsi yang dipimpin oleh Sekertaris Gubernur. Sekertaris Daerah Provinsi karena jabatannya diangkat sebagai Sekertaris Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
”Tidak ada kewajiban untuk Gubernur selalu hadir dalam setiap kegiatan DPRD. Seorang Kepala Daerah itu dilengkapi dengan Wakil dan juga Sekda serta Kepala-Kepala Dinas. Ada namanya pendelegasian, kan dalam konteks kewenangan itu seorang pejabat atau Kepala Daerah kan bisa di delegasikan kepada bawahannya, dan itu diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan, karena Kepala Daerah berhak untuk mendelegasikan dirinya untuk diwakilkan. Jadi tidak ada masalah sebenarnya dari sisi norma hukum,” jelas Nasarudin melalui teleponnya.
Dirinya menambahkan, jika itu berkaitan dengan konteks Paripurna di DPRD, aturannya bisa mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2019, dimana menerangkan pada pasal 19 ayat 2 bahwa dalam hal Kepala Daerah berhalangan tetap atau berhalangan sementara, LKPJ disampaikan oleh Wakil Kepala Daerah selaku Pelaksana Tugas Kepala Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam Rapat Paripurna.
Sementara bunyi Ayat 3, dalam hal Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara bersamaan berhalangan tetap atau berhalangan sementara, LKPJ disampaikam oleh Pengganti Kepala Daerah kepada Dewan.
Lebih lanjut kata Nasarudin, jika hari ini Gubernur Maluku tidak mengikuti Agenda DPRD meski dalam kapasitas beliau selaku Kepala Daerah dan penangungjawab pemerintahan, seorang Kepala Daerah tetap memiliki distribusi kewenangan untuk mendelegasikan fungsi-fungsinnya.
”Ya sama dengan Presiden, mana pernah anda dengar Presiden selalu datang ke DPR? Kalau berdasarkan Undang-Undang kan tidak ada. Justru dirinya mendelegasikan kepada Kementerian terkait, nanti biasanya Presiden hadir itu kalau Pidato Tahunan, misalnya 17 Agustus atau Sidang MPR. Jadi ada momentum tertentu, kemudian Kepala Negara ataupun Kepala Daerah itu hadir,” terang Nasarudin.
Ia menambahkan, setiap orang harus memaklumi bahwa ketidakhadiran Kepala Daerah itu juga tidak menganggu jalannya pemerintahan dan pada akhirnya dalam relasi hubungan DPR dan Gubernur itu tidak ada keputusan yang bisa diambil pada forum-forum tertentu.
”Biasanya secara teknis nanti akan dibahas. Biasanya ada perlengkapan DPRD termasuk SKPD dan Pemerintahan Daerah, misalnya komisi, ada dinas, dan kelengkapan lainnya,” imbuh dia.
Ia bahkan menegaskan bahwa apa yang disampaikan oleh Ketua DPRD Maluku ini, terkesan sangat tendensius, apalagi telah memasuki tahun-tahun politik.
”Kalau saya sih entah itu DPRD atau Kepala Daerah, seharusnya dapat menghindari statemen-statemen yang bisa ditafsirkan bermacam-macam atau beragam oleh publik. Apalagi publik tidak paham bahwa jangan sampai ketidakhadiran atau malasnya Gubernur itu dianggap sebagai sebuah pelanggaran yang serius atau melanggar Undang-Undang. Masyarakat awam kan tidak tau itu,” katanya yang menambahkan bahwa perkataan Benhur itu nantinya bisa disalahartikan dan disalahgunakan orang-orang yang memiliki kepentingan politik untuk menjatuhkan citra atau nama baik Gubernur Maluku.
Ia berujar, mungkin ada benarnya jika Gubernur Maluku jarang hadir di DPRD dianggap malas, tapi itu tidak ada konsekuensi yuridis dan justru berbahaya kalau pernyataan tersebut kemudian nantinya bisa dipelintir dan malahan statemen seorang Ketua DPRD Maluku bahkan tidak memberikan pencerahan di ranah publik.
Untuk itu dirinya meminta agar statemen tersebut tidak tepat atau tidak elegan disampaikan seorang Pimpinan Legislatif pada ruang-ruang publik dan ia menyarankan bahwa jika ada evaluasi seperti itu, seyogyanya silahkan dilakukan evaluasi pada forum-forum resmi, dan bukan melalui para awak media dan kemudian dipublikasikan.
”Kalau kemudian statemen itu dikeluarkan tanpa data atau akurasi data yang jelas dan lengkap, nah itu malah akan menjadi miss informasi. Harus dapat dijelaskan ke publik jangan sampai masyarakat menganggap apa yang disampaikan Ketua DPRD kepada Gubernur Maluku merupakan pelanggaran serius, padahal tidak ada sesuatu yang fatal. Tidak ada akibat Hukumnya kalau Gubernur tidak hadir. Kan tidak harus Gubernur. Ada psikologi pemerintah yang harus dipahami dan ada alasan yuridis atau psikolgis yang harus kita tau bersama. Saya kira penting jika kita menghadirkan informasi-infromasi yang positif, ketimbang dengan mengobral bahasa-bahasa yang sensitif seperti itu karena pada akhirnya tidak menguntungkan bagi Maluku,” pungkas Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Ambon ini. (it-02)