Daerah Maluku 

Soal Bayar UP3, Omans : Perintah Negara dan Bukan Semau DPRD

Saumlaki, indonesiatimur.co
Polemik yang sementara berkembang hangat di Bumi Duan Lolat, julukan daerah Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT), tentang usulan penganggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) Tahun 2022 senilai Rp34 milyar, yang digadang-gadang akan digunakan seluruhnya untuk membayar Utang Pihak Ketiga (UP3) hanya pada satu orang kontraktor sekaligus pengusaha, membuat mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) KKT Jaflaun Omans Batlayeri, angkat bicara.

Melalui wawancara eksklusif oleh media ini yang berlangsung di kediaman pribadinya, Senin (17/10/2022), Jaflaun mengatakan, tidak dapat dipungkiri bahwa KKT saat ini memiliki banyak persoalan, baik dari sisi infrastruktur, utang kontrak, dan lain sebagainya yang belum bisa terjawab. Adanya persoalan pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan termasuk ekonomi kerakyatan, namun dari sisi beban, Tanimbar memiliki beban yang sangat luar biasa. Persoalan-persoalan yang terjadi, baik yang ditinggalkan era pemerintahan sebelumnya, Bitsael Silvester Temmar hingga era pemerintahan mantan bupati Petrus Fatlolon soal UP3 yang kini ramai diperdebatkan, menurutnya sangatlah naif, lantaran saat ini pihak DPRD yang disalahkan hanya karena ingin menyelesaikan sebagian UP3 dimaksud.

“Saya mau tegaskan bahwa DPRD tidak bisa mengelak dari kondisi Daerah saat ini. Dari sisi beban, Tanimbar memiliki beban yang sangat luar biasa. Beban yang diributkan dan diperdebatkan yang mana saya mengganggap sangat naif. Mereka yang buat utang, kita yang mau bayar, kita lagi yang disalahkan,” ungkap Jaflaun.

Menurutnya, jika saat ini adanya kesepakatan antara pihak legislatif dan yudikatif untuk membayar UP3, maka hal tersebut telah melalui pertimbangan yang sangat matang dan bukan sekedar atas dasar kemauan sendiri yang tidak berdasar. Ia bahkan menyesalkan bahwa ada oknum yang melontarkan kalimat bahwa DPRD KKT telah kehilangan fungsinya sebagai pengemban amanah dan penyambung lidah rakyat.

“Saya mau gambarkan secara riil bahwa dari sisi akuntansi keuangan pemerintah daerah ini sudah sangat buruk. Kita punya beban utang sesuai LPJ tahun 2021 sebanyak Rp221 miliar itu, kita belum memverifikasi seluruhnya,” tegasnya.

Dirinya mencontohkan, salah satu persoalan yakni bangunan baru Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. P. P. Magretti di Ukurlaran yang bahkan telah diresmikan, namun kontraktor atau pihak ketiga yang mengerjakan proyek tersebut hingga saat ini belum dibayarkan dengan jumlah utang sebesar kurang lebih Rp22 milyar. Padahal, anggaran tersebut telah dialokasikan dari Dana Alokasi Khusus (DAK) total Rp60 milyar yang telah dikirimkan ke Rekening Kas Daerah.

“Contoh yang paling kecil ialah Rumah Sakit di Ukurlaran yang sudah diresmikan. Tau nggak kontraktornya belum dibayar berapa banyak? Itu kurang lebih Rp22 miliar dari DAK 60 miliar yang sudah dikirim ke Kasda dan rumah sakitnya tuh sudah resmi, sementara asetnya masih disegel oleh kontraktor dalam hal kuncinya belum diserahkan. Belum ada serah terima. Itu salah satu contoh kasus terkait dengan UP3,” beber Jaflaun.

Ia melanjutkan, tentang UP3 kepada salah satu kontraktor sekaligus pengusaha berinisial AT, awalnya karena UP3 tersebut belum juga diselesaikan sehingga AT kemudian menggugat Pemda di Pengadilan dengan gugatan immateriil dan dimenangkan oleh AT dengan dikeluarkannya empat putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (Inkracht). Perintah Pengadilan adalah merupakan perintah negara dan wajib dilaksanakan. Hal itu dijelaskannya, adalah berdasarkan perintah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, tentang Pemerintah Daerah. Pada pasal 67 poin b menjelaskan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah wajib menaati seluruh ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Apa saja Peraturan Perundang-Undangan, ya salah satunya putusan pengadilan.

“Kalau hari ini ada yang mempertanyakan bahwa ini bayar dari mana dan dasarnya apa? Ini sudah perintah pengadilan dan itu sama dengan perintah negara. Kita tidak bisa mengelak lagi. Lihat saja Pasal 67 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Poin b. Kenapa ada UP3? Hal itu karena ada paket-paket pekerjaan yang sudah dikerjakan oleh saudara AT yang tidak dianggarkan sebelumnya dalam APBD Kabupaten Maluku Tenggara Barat yang mana, paket-paket pekerjaan tersebut dikerjakan berdasarkan rekomendasi Bupati Maluku Tenggara Barat kala itu,” terang Jaflaun.

Masih menambahkan, ada pula mekanisme penganggaran dan pembayaran yang merupakan kewajiban Pemda lainnya, termasuk terhadap Putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negri (Permendagri) Nomor 77 Tahun 2020 pada Bab V, Huruf T Lampiran Permendgari Nomor 77 Tahun 2020. Jadi keputusan hukum sudah final tidak ada celah hukum lagi untuk kemudian dipertanyakan.

Sementara ditanya soal konsekuensi bagi pejabat yang mencoba untuk tidak membayar UP3, Jaflaun menjelaskan bahwa bagi siapa yang sengaja untuk memperhambat proses tersebut, akan dikenakan sangsi sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan sesuai Pasal 17 dan 18, Undang-Undang No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Ia juga mengaharapkan hakim rakyat untuk mempertanyakan pemimpin pembuat utang.

“Pemda dan DPRD punya komitmen yang sama dengan para pengusaha dan ini langkah awal agar di tahun-tahun berikut kita tetap konsisten, utang harus dibayar. Yah, entah itu terkontrak maupun terikat sehingga kepada pemerintahan yang definitif nanti, kepala daerah yang terpilih di 2024 nanti oleh rakyat, dia bisa legowo, bisa lega untuk menargetkan kinerja visi misinya dan tidak terganggu dengan masalah akuntansi keuangan. Rakyat juga mesti tegas dan mempertanyakan secara mendalam, kenapa ada utang? Kenapa pemda berhutang?Tanyakan itu kepada mereka yang memimpin negeri ini, rakyat harus menginterupsi tegas dalam momentum kekuasaannya,” ajak legislator Demokrat ini. (it-03)

Bagikan artikel ini

Related posts

Komentar anda:

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.